Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Tindakan Main Hakim Sendiri makin Mencemaskan

Bagong Suyanto Guru Besar di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
09/8/2017 00:01
Tindakan Main Hakim Sendiri makin Mencemaskan
(tiyok)

COPET, maling, jambret, begal, atau penjahat yang tertangkap tangan kemudian dipukuli massa sebetulnya tidak sekali-dua kali terjadi. Akan tetapi, ketika seseorang yang diduga pencuri, tanpa dikonfirmasi lebih lanjut kemudian dijadikan bulan-bulanan warga dan dibakar hidup-hidup, tentu hal ini sulit dinalar akal sehat. Mohammad Al Zahra, 30, yang memiliki istri, Siti Zubaidah, 25, yang sedang mengandung enam bulan, karena dituduh mencuri amplifier di Musala Al Hidayah, Desa Hurif Jaya, Kecamatan Babelan, Bekasi, tanpa belas kasihan dibakar hidup-hidup. Seorang pencuri yang tertangkap basah melakukan aksinya saja tidak dibenarkan untuk dibunuh, apalagi ketika korban ternyata sama sekali bukan pelaku tindak kejahatan.

Tragedi yang menimpa Zahra, warga yang tidak bersalah, tetapi tewas sia-sia karena menjadi korban tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat, tentunya membuat kita mengelus dada dan bertanya-tanya. Apa sebetulnya yang salah sehingga masyarakat seolah kehilangan nurani? Hanya karena syakwasangka, masyarakat dengan mudah main hakim sendiri tanpa menimbang dampaknya di belakang hari.

Faktor yang memengaruhi
Dalam menghadapi tindak kejahatan yang meresahkan masyarakat, aparat kepolisian belakangan ini sebetulnya sudah melakukan tindak tegas. Di media massa, bisa kita lihat, tidak sekali-dua kali polisi terpaksa menembak begal, pengedar narkoba, atau penjahat lain yang berani bertindak macam-macam. Akan tetapi, hal itu tampaknya dinilai masih belum cukup memuaskan masyarakat. Ada kesan kuat bahwa masyarakat sekarang ini masih lebih suka memilih melakukan pengadilan di jalanan, menghakimi sendiri pelaku kejahatan yang tertangkap basah hingga babak-belur, dan bahkan tidak jarang menghajarnya hingga tewas di tempat. Kita tentu masih ingat, sekitar 2000-an, puluhan, bahkan ratusan kasus aksi massa yang main hakim sendiri terjadi di berbagai tempat. Diperkirakan, di waktu itu sekitar 2 hari sekali terjadi 1 kali pembantaian tersangka oleh warga.

Studi yang dilakukan penulis menemukan ada dua alasan yang menjadi pembenar kenapa warga masyarakat sampai tega melakukan aksi kekerasan yang sebetulnya sudah melampaui batas-batas nilai kemanusiaan dan kepantasan. Pertama, karena penjahat adalah kelompok sampah masyarakat yang sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi dan kebetulan aparat kepolisian atau bahkan dalam skala yang lebih luas, menurut pemikiran masyarakat, niscaya tidak ada satu pihak pun yang mempersoalkan kematian seorang penjahat yang dihakimi publik.

Kedua, karena warga masyarakat merasa bahwa aparat kepolisian sendiri niscaya tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan makin maraknya tindak kejahatan yang berkembang di masyarakat. Baik karena alasan keterbatasan jumlah personel dan anggaran maupun karena alasan ketidakpercayaan warga masyarakat terhadap kinerja aparat kepolisiaan yang selama ini berjalan. Jajak pendapat yang dilakukan Media Indonesia Online yang diikuti 1.155 responden pada 23-26 Mei 2000, misalnya, menemukan ada 29,44% responden menilai kinerja polisi tidak profesional dan 56,8% kurang profesional. Sementara itu, polling yang dilakukan Jawa Pos terhadap 500 kaum muda berusia 15-27 tahun yang berasal dari kelas menengah ke atas menemukan sebanyak 63% responden menganggap tindakan main hakim sendiri umumnya diyakini efektif untuk mengurangi kejahatan. Dalam hal ini, beberapa jenis kejahatan yang pelakunya dinilai pantas dihakimi massa adalah pemerkosa (62,3%), perampok (58%), dan pembunuh (52,5%).

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya--yang sebagian besar masyarakat cenderung selalu dihinggapi perasaan tidak aman, bahkan mungkin menjadi gejala ketakutan masyarakat (fear of crime)--kini yang terjadi kelihatannya ialah sebuah era balas dendam. Jika selama bertahun-tahun masyarakat umumnya selalu hidup dengan perasaan waswas, apalagi jika berada di zona-zona yang rawan, kini sebaliknya para penjahat pun mau tidak mau harus berpikir masak-masak sebelum melakukan sebuah tindak kejahatan. Di kalangan masyarakat yang sudah hilang batas kesabaran dan ketakutannya, tampaknya summary justice (keadilan kilat) atau tindakan main hakim sendiri menjadi pilihan yang dibenarkan dan bahkan dipandang perlu untuk terus dikembangkan. Prinsip yang berlaku saat ini, jika dicoba diringkas ialah, bagaimana membalas kejahatan dengan tindak kejahatan, dan bagaimana pula membalas kekerasan dengan kekerasan. Di sisi lain, pelaku peradilan rakyat sendiri memang sering tidak terjangkau oleh hukum dalam arti mereka sulit diproses secara hukum--sehingga cara-cara kekerasan kolektif sepertinya makin lama makin populer karena mereka beranggapan toh nantinya tidak akan diapa-apakan.

Peran tokoh masyarakat?
Amuk massa atau tindakan main hakim sendiri selama ini oleh sebagian besar masyarakat tampaknya dianggap sebagai cara efektif untuk mengadili terdakwa yang tertangkap basah melakukan tindak kriminal. Peran pers dan rumor yang berkembang--ditambah dengan bumbu-bumbu cerita yang sifatnya hiperbolis--bukan saja menciptakan kesepakatan dan rasa solidaritas publik, melainkan juga referensi tentang cara atau modus memperlakukan penjahat yang kebetulan sedang bernasib sial tertangkap massa. Tindakan main hakim sendiri yang terjadi di kota tertentu, jangan kaget jika kemudian terjadi hal yang sama di kota yang lain, karena efek media massa dan media sosial yang dengan cepat menjadikan hal itu viral.

Selama dua tahun terakhir, paling tidak bisa kita lihat bagaimana makin kecilnya peluang hidup bagi penjahat yang tertangkap massa. Bagi yang kurang beruntung, penjahat yang tertangkap niscaya akan dihajar hingga babak-belur. Namun, tak jarang terjadi penjahat itu dihajar hingga sekarat, dipukul dengan potongan kayu, disabet pedang, dirajam dengan batu, dan kemudian dibakar hidup-hidup hingga menghitam menjadi arang. Di masyarakat sendiri, saat ini peran dan karisma tokoh-tokoh lokal tampaknya juga telah makin memudar dan kehilangan wibawa sehingga ketika di sana berkembang rumor yang tak jelas atau tindakan-tindakan tertentu yang berlawanan dengan hukum, ada kesan kuat hal itu dibiarkan begitu saja. Upaya ulama untuk menenangkan massa yang telanjur beringas ketika menangkap basah penjahat tampaknya juga tidak banyak dikembangkan. Pada titik inilah, kita hanya bisa menyesal tatkala orang yang tidak bersalah kita perlakukan dan aniaya dengan membabi buta: dibakar hidup hidup hingga tewas.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya