Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
SAAT ini utang pemerintah tercatat Rp3.672,33 triliun. Perinciannya, status utang bersumber surat berharga negara (SBN) hingga Mei lalu Rp2.943,73 triliun (80,2%) dan pinjaman Rp728,6 triliun (19,8%). Sayangnya, sebagaimana disebutkan Menko Perekonomian Darmin Nasution, 38% utang itu merupakan ‘kepemilikan asing’. Maknanya, jika tidak hati-hati, konsekuensi dari bertambahnya utang lewat SBN bisa runyam. Maka berbicara tentang risiko, dampak buruk pengelolaan utang dapat bersifat sistemik, termasuk risiko daya tahan anggaran negara secara keseluruhan. Terkait hal ini, pemerintah diharapkan setelah mendapatkan utang baru kembali dituntut bisa mengelola sekaligus mengendalikannya dalam penggunaan dana utang pemerintah itu.
Isu pemanfaatan dana utang selama ini rutin diperdebatkan berbagai pihak. Namun, tampaknya belum bisa dibumikan dalam agenda pemerintah. Sebagaimana disebutkan Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, (2017) pengelolaan utang memang belum benar-benar keluar dari tradisi selama ini, masih terjadi pengalokasian pemanfaatan dana utang berbasis ‘tradisi birokrasi turun-temurun’. Ini terlihat dari pemanfaatan dana utang bank dunia ke pemerintah Rp64 triliun pada 2016 yang dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor pendidikan. Termasuk pemberian dana peningkatan penghasilan bagi kalangan pendidikan serta pembiayaan pembangunan infrastruktur. Bahkan pemanfaatan dana utang untuk pembiayaan infrastruktur tak hanya dari utang pemerintah, tetapi juga dari dana pihak ketiga yang berujung pada utang swasta dan atau BUMN.
Catatan LSM Fitra (2017) Jakarta menyebutkan di mana pun di dunia ini, memang tak satu pun negara yang tidak berutang. Bahkan Jepang, Italia, dan Inggris serta AS sebagai negara yang disebut ‘modern’ pun, hingga saat ini bahkan diketahui memiliki utang amat besar, 3-5 kali lebih besar daripada RI. Namun, negara-negara itu dinilai sukses mengelola utang asing/pihak ketiga lantaran sukses mendesaian pemanfaatan utang sebagai ‘modal investasi’ yakni penggunaan dana utang untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah yang benar-benar mendorong peningkatan bisnis dan usaha kalangan dunia usaha dan masyarakat luas. Sekaligus sebagai ‘modal produktif’ pembangunan nasionalnya.
Pelajaran dari Jepang
Tiap negara memiliki strategi dan taktik masing-masing untuk mendayagunaalokasikan utangnya. Namun, dari sekian negara maju yang dinilai paling ‘sukses’ mendayagunakan alokasi utangnya ialah Jepang. Dengan kekuatan internal industri/manufaktur terbesar di dunia, industri dan bisnis di Jepang butuh modal dasar tidak sedikit. Setiap tahun sebagaimana disebutkan Japan Times (23/6/2017), setidaknya Jepang selalu menambah utang di atas 45% dari PDB (potensi ekonominya), yang sejatinya jika dibandingkan dengan utang RI yang ‘hanya’ 28% dari PDBnya masih jauh lebih besar dari kondisi utang RI, masih bisa disebut ‘makmur’ dalam tingkat pendapatan penduduk dan status ekonomi ‘Negeri Sakura’ itu.
Mengapa bisa demikian? pakar ekonomi Tony Prasetyantono (2017) menyebutkan ‘perbedaan’ model utang Jepang dengan RI menyebabkan perbedaan ‘produktivitas’ utang dimaksud. Jika di RI selama ini utang negara justru diandalkan dari ‘pasar bebas’ di luar kemampuan ekonomi rakyatnya sendiri, maka di Jepang, utang pemerintah justru diarahkan menjadi ‘utang rakyat’. Dengan cara perluasan kepemilikan saham-saham perusahaan nasional dan swasta Jepang untuk bersama-sama pemerintah mendayagunakan potensi dan peluang investasi domestik sebagai basis pengembangan bisnis dan investasi.
Untuk memastikan bahwa utang itu benar-benar dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah dan swasta yang produktif, pemerintah Jepang membangun standardisasi pengalokasian utang secara nasional. Standardisasi itu diperlukan guna mencapai produktivitas utang yang benar-benar bermakna ‘investasi’ yakni menanamkan setiap jenis utang untuk program dan kegiatan yang mampu melipatgandakan berbagai sumber daya sebesar-besarnya untuk mendongkrak ekonomi rakyat. Karena negara industri, rakyat Jepang semiskin apa pun diberi akses luas terlibat dalam kepemilikan saham-saham blue chip. Bahkan ibu-ibu rumah tangga dan keluarga di Jepang 90% memiliki saham di berbagai perusahaan swasta Jepang serta menopang proyek-proyek pemerintah melalui kerja sama lintas perusahaan.
Kita bisa lihat merek-merek global khas Jepang, khususnya di dunia otomotif, misalnya Honda, Nissan, Daihatsu, Toyota, dll tidak saja kini merajai pasar otomotif dunia. Tetapi sekaligus dikenal sebagai ‘merek bersama rakyat Jepang’. Dalam landscape RI, pemerintahan Jokowi juga semestinya lebih fokus dalam agenda tata kelola utang agar utang tidak lagi seperti tradisi rezim sebelumnya, tetapi harus mulai berani mengarahkannya untuk kegiatan produktif yakni utang sebagai investasi langsung. Investasi langsung ialah penanaman
modal yang secara langsung mampu menggerakkan potensi dan peluang investasi, menggerakkan sumber daya untuk menghasilkan modal lebih besar, baik secara kualitatif atau kuantitatif.
Untuk menuju arah itu setidaknya diperlukan komitmen dan konsistensi para pengelola utang di setiap lini birokrasi dan dunia usaha nasional. BKPM (2016) sudah mengelompokkan ragam dan jenis investasi langsung yang dibutuhkan rakyat dan bangsa, di mana ‘modal dasar’ investasi RI adalah industri rumah tangga skala menengah ke bawah (kelas UMKM). Terdapat sekitar 18,9 juta UMKM aktif yang kini berkinerja bagus dengan memproduksi barang-jasa berskala global. Perusahaan-perusahaan kelas UMKM itu kini masih mengalami masalah klasik yakni krisis permodalan dan teknologi. Pada pos itulah, pemerintah selaku regulator tidak hanya wajib menggelar regulasi pro-investasi bagi pengusaha/perusahaan lokal itu, tetapi sekaligus terlibat dalam peningkatan modal dan asistensi penguasaan teknologi pada manajemen perusahaan domestik itu.
Untuk itu, keterlibatan kalangan perguruan tinggi dan ahli teknologi mutlak diperlukan. Riset-riset pengembangan produk, standarisasi global produk lokal hingga pengembangan teknologi bisnis dan investasi sehingga terwujud integrasi agenda utang sebagai investasi. Dengan parameter yang jelas dan outcome utang terukur, utang dapat meningkatkan modal usaha serta membiayai pengembangan sumber daya perusahaan domestik dari hulu hingga hilir. Hanya cara demikian, utang berevolusi menjadi investasi. Dengan potensi dan peluang investasi nasional RI yang menutur Majalah Forbes (edisi 5/6/2017) mencapai Rp19,452,43 triliun dari SDA kita, tidak mustahil menjadi aset besar berpeluang menjadi investasi langsung.
Untuk itulah, agenda deregulasi investasi juga semestinya tidak hanya menyasar pemanfaatan utang kepada swasta/perusahaan nasional, tetapi juga pengendalian penggunaan utang bagi proyek-proyek pemerintah. Jangan sampai proyek-proyek pemerintah dibiarkan boros dan jauh dari produktivitas yang selama ini menyedot alokasi utang itu. Sehingga kembali rakyat dan negara ini tercebur ke lubang utang yang sama setiap rezim berganti. Maka sebelum mengulang kesalahan yang sama, tata kelola utang kini harus berani beralih secara radikal: utang sebagai investasi!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved