Headline
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
DI Mabes Polri, seorang petingginya menyatakan Polri tidak akan menindaklanjuti laporan warga terkait dengan video ndeso bikinan Kaesang, putra Presiden Jokowi. Di kantor Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, seorang ibu dari Kalimantan mengadu bahwa laporannya tentang (dugaan) kekerasan terhadap anak gadisnya berulang kali ditolak kepolisian setempat.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa jumlah personel Polri belum ideal untuk memberikan layanan yang memenuhi ekspektasi masyarakat. Dengan kuantitas petugas yang belum proporsional, polisi dituntut cermat dalam bekerja, termasuk terkait dengan penanganan kasus yang dilaporkan masyarakat. Seiring dengan itu, dibutuhkan kearifan dalam berkomunikasi dengan publik, utamanya pelapor, agar mereka dapat memaklumi ketika polisi membuat keputusan untuk mengesampingkan atau tidak menindaklanjuti laporan-laporan tertentu.
Dari sisi pelapor, kasus yang mereka laporkan ke polisi tentu dirasa memiliki bobot serius. Setiap masyarakat, spesifiknya korban, mempunyai sensasi masing-masing atas pengalaman viktimisasi yang mereka lalui. Parameter penyikapannya, merujuk slogan kekinian Polri, mesti profesional, modern, dan tepercaya (promoter). Tidak sepatutnya ambil misal polisi menolak menindaklanjuti suatu laporan karena kasus yang dilaporkan itu dipandang mengada-ada, jika acuan serius-sepelenya suatu laporan ialah pengalaman individual si polisi sendiri. Alih-alih bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan parameter promoter, penolakan sedemikian rupa justru memperlihatkan bias subjektif personel polisi sendiri.
Anggapan bahwa pelapor tidak rasional perlu dikoreksi. Masyarakat (korban) yang mengadukan masalahnya ke polisi justru mengindikasikan sikap melek hukum yang bersangkutan. Ia paham betul bahwa hukum merupakan langkah bertanggung jawab yang harus ditempuh setiap warga negara. Ia, si pelapor, menghindari tindakan main hakim sendiri. Sebangun dengan itu, masyarakat yang melapor merupakan pertanda bahwa ia menaruh kepercayaan pada institusi kepolisian. Pelapor tahu betul tugas polisi selaku pelayan, pelindung, pengayom, sekaligus penegak hukum. Ia melapor dengan berangkat dari sebuah keyakinan, atau setidaknya harapan, bahwa polisi akan serius menangani laporannya.
Manakala masyarakat telah memiliki keinsafan penuh akan supremasi hukum seperti itu, sungguh tepat menyebut mereka sebagai warga yang rasional. Bahkan rasional dan konstitusional. Apalagi kalau secara paralel lembaga kepolisian berhasil menjelmakan dirinya sebagai pihak yang dapat diandalkan, bisa diperkirakan bahwa polisi akan menerima laporan masyarakat dalam jumlah yang kian lama kian banyak.
Memang, keraguan publik bahwa polisi akan sungguh-sungguh menangani laporan hanya salah satu alasan yang membuat korban memutuskan tidak melaporkan pengalaman viktimisasi mereka ke polisi. Alasan-alasan lainnya, korban sudah mengatasi masalahnya dengan cara selain hukum, korban merasa masalahnya tidak terlalu penting, dan kekhawatiran adanya aksi balasan dari pihak yang dilaporkan.
Khusus terkait dengan alasan pertama, yaitu keraguan pada polisi, terdapat empat tren sebagaimana diulas Langton, Berzofsky, Krebs, dan Smiley-McDonald (2012). Pertama, keyakinan korban bahwa polisi tidak akan menganggap serius masalah yang dilaporkan. Kedua, pandangan korban bahwa polisi tidak akan bisa melakukan apa pun. Ketiga, persepsi bahwa melapor kepada polisi tidak efisien dan tidak efektif. Keempat, dugaan korban bahwa polisi akan bias karena polisi memiliki kepentingan sendiri atas masalah korban itu. Studi itu dilakukan di AS. Namun, secara tipikal, faktor-faktor itu pula yang acap menjadi pertimbangan masyarakat di sini kala urung melaporkan pengalaman viktimisasi mereka kepada polisi.
Atas dasar itu semua, semestinya dibangun sikap baru. Bahwa berbondong-bondongnya masyarakat mengadukan problem mereka ke kantor polisi merupakan peristiwa yang pantas disambut dengan sukacita, bukan dengan perkataan yang terkesan merendahkan akal sehat pelapor. Berulangnya masyarakat melaporkan kasus mereka kepada polisi tidak elok ditafsirkan sebagai watak terlalu sensitif dan terlalu ringkih (baper, bawa perasaan) pelapor. Tinggal kemudian bagaimana polisi lebih berempati terhadap setiap pelapor yang menilai dirinya telah dijahati, serta selanjutnya merespons setiap laporan warga dengan bentuk-bentuk penyikapan yang--sekali lagi promoter.
Prioritas
Ketika polisi bersikap bahwa pelapor mengada-ada dan isi laporannya sepele, serta pada saat yang sama menyatakan ada kasus-kasus lain yang lebih penting, muncul satu pertanyaan: jenis-jenis kejahatan apa yang menjadi prioritas kerja kepolisian dalam periode tertentu? Jawaban atas pertanyaan itu akan meletakkan dasar objektif bagi masyarakat untuk mengukur masalah mereka sebelum melaporkannya kepada polisi. Pelapor juga akan bisa memperhitungkan derajat keseriusan polisi setelah menerima laporan itu. Sisi lain, polisi akan mempunyai patokan resmi tentang skala prioritas kerja mereka di tengah timbunan laporan masyarakat.
Yang terpenting, siapa pun pada akhir periode dimaksud akan bisa menakar kesungguhan dan keberhasilan polisi dalam menangani jenis-jenis kejahatan yang telah mereka prioritaskan itu. Hasil penakaran terburuk ialah ketika pada satu sisi polisi gagal mendemonstrasikan kerja yang meyakinkan dalam menangani kasus-kasus dari jenis kejahatan yang mereka prioritaskan, sementara pada sisi lain melakukan penyepelean terhadap kasus dari jenis kejahatan nonprioritas yang publik laporkan.
Tanpa ketetapan resmi dari otoritas kepolisian mengenai jenis-jenis kejahatan yang penanganannya diutamakan, polisi akan rentan dinilai diskriminatif. Masyarakat, pelapor, dan korban pun bisa merasa telah mengalami viktimisasi sekunder. Viktimisasi sekunder, banyak peneliti menyimpulkan, ironisnya sering diderita korban yang sesungguhnya ingin mengandalkan proses pidana sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Dampak terburuk viktimisasi sekunder ialah runtuhnya kepercayaan pada lembaga penegakan hukum dan pudarnya harapan untuk memperoleh keadilan (Orth, 2002).
Kian kompleks
Jika pekerjaan legislasi di DPR dewasa ini dijadikan sebagai acuan, bagi Polri setidaknya ada dua tipe kejahatan yang patut berada pada prioritas tertinggi, yaitu kejahatan terkait dengan perlindungan anak dan terorisme. Pasalnya dua undang-undang mengenai dua jenis kejahatan itulah yang paling kencang mengalami revisi dan revisi mengindikasikan tingginya atensi khalayak luas.
Satu jenis kejahatan lagi ialah bertitik tolak dari situasi penegakan hukum di Tanah Air dalam kurun sembilan bulan terakhir ini, yakni adanya peningkatan intensitas dan kompleksitas dalam kasus-kasus kejahatan dengan kerugian yang tidak signifikan secara material. Pada rentang waktu itu, tindak kriminalitas yang mengakibatkan kerugian nonmaterial (sosiokultural dan psikologis) tampak sangat mengemuka dan menguras stamina.
Apabila diasumsikan bahwa ketiga jenis kejahatan itu menjadi prioritas utama polisi, tak pelak itu harus direspons dengan penguatan kemampuan kerja spesifik polisi. Polisi dengan kemampuan kerja yang kedaluwarsa dalam menangani tiga ragam kejahatan itu jelas akan menghasilkan penilaian miring terhadap sikap konsekuen lembaga kepolisian atas skala prioritas yang telah ditetapkannya sendiri. Jangan sampai pengabaian terhadap laporan masyarakat disebabkan majalnya kemampuan institusi penegakan hukum dalam menangani kasus pelik. Allahu a’lam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved