Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

"Legian" dan "Kuta" di Bukit Bintang

Eko Rahmawanto
08/9/2015 00:00
(Dok)
Kalau ada angka 27,4 juta turis asing yang inbound ke Malaysia tahun 2014, itu pantas dipercaya! Kita masih jauh tertinggal di angka 9,4 juta. Jika ada data, indeks daya saing Malaysia di nomor 25 dunia versi World Economic Forum tahun 2015, itu juga layak dipercaya! Kita yang merasa sudah melompat 20 poin saja, masih tertindas di posisi 50, dari 141 negara?

Jika ada kalkulasi, penerimaan devisa Malaysia tahun 2013 sudah menembus USD 21,018 juta, itu juga masuk di nalar. Indonesia masih terpaut jauh di level USD 10,054 juta tahun 2013, dan meningkat menjadi USD 11,166 juta di tahun 2014. Kita yang merasa alamnya lebih keren, budayanya lebih original (bukan hasil menyontek, copy paste atau mengklaim, red), jumlah destinasi lebih banyak, lebih lengkap, lebih variatif, tidak pakai KW, ternyata baru separoh dari capaian Malaysia.

Apa boleh buat? Apa mau dikata? WTTC 2014 mencatat dengan tegas, kontribusi total tour & travel terhadap PDB (Product Domestic Bruto) tahun 2013 untuk wilayah Asia, Malaysia nomor 2 setelah Thailand, dengan total 50,300 juta Dolar Amerika. Wisata berkontribusi 16 persen. Sedangkan Indonesia? Masih di angka 9 persen.

Padahal, soal price atau harga, Indonesia nomor 3 di dunia, paling ekonomis. Paling kompetitif di harga-harga? Natural resourcesnya, atau alamnya jauh lebih kuat, lebih indah, dan lebih bisa dinikmati? Soal kreativitas, Indonesia lebih maju, bahkan beberapa langkah. Tapi mengapa dalam sektor pariwisata, suka tidak suka, mau tidak mau Malaysia tetap satu langkah di depan. "Karena itu, target kunjungan wisman kita harus dobel! Minimal harus lipat dua,"  ungkap Menpar Arief Yahya, yang menyebut dobel saja belum cukup untuk mengalahkan Malaysia. Karena negara Commonwealth itu juga terus berbenah, terus berpromosi, dan tak henti berbenah.

Angka capaian Malaysia itu bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dikejar. "Karena itu, tahap pertama yang harus digeber adalah branding, branding, dan branding! Sebagai produk, kita harus melabeli, menamai, pada semua destinasi indah, eksotis, alami, baik alam, budaya, dan segala artefak peninggalan yang kita punya? Apa tittle-nya? Apa mereknya? Itu yang harus diperkenalkan di mana-mana, Merek itulah yang sudah kita sepakati dengan sebutan Wonderful Indonesia. Itulah yang branding kita," kata mantan Dirut PT Telkom Indonesia ini.

Malaysia di mana-mana menjual brand "Truly Asia", dipublikasikan besar-besaran, di seluruh dunia. "Your" Singapore juga digeber sebagai branding Negeri Singa Putih itu. India tampil di mana-mana dengan "Incredible"nya. Thailand, salah satu negara ASEAN yang dinilai paling sukses menggarap sektor pariwisata juga mempopulerkan "Amazing" Thailand dengan sangat agresif. "Karena itu, branding Wonderful Indonesia harus dinaikkan dulu, agar masuk dalam benak semua orang di seluruh penjuru dunia," kata dia.

Ketika branding sudah kuat, kata Arief, semua menjadi lebih mudah. Apalagi, destinasi Indonesia nyata indahnya, asli cantiknya, modal dasarnya sudah kuat. Tinggal memoles yang pro pasar, memanaj kekurangan. "PR-ing itu P artinya promise atau janji. R artinya reputation. Kita menjanjikan suasana Wonderful Indonesia, dan faktanya Indonesia memang wonderful. Tidak ada jarak, tidak ada yang salah, maka pekerjaan PR-ing akan lebih mudah dan lebih efektif," jelas dia.

Yang paling konkret bagi pariwisata Indonesia adalah menempatkan negara tetangga Malaysia sebagai patokan. Malaysia pas dijadikan tempat belajar, dan sekaligus cermin yang harus dikejar. Pertama, lebih dari 13 juta warga Singapore datang ke Johor Baru setiap tahun. Bandingkan dengan Indonesia. Originasi wisman terbanyak ke Indonesia juga sama, Singapore, tetapi dalam satu tahun hanya sekitar 2 juta orang saja ke seluruh Indonesia. Paling banyak destinasinya ke Batam, Bintan, Tanjung Balai Karimun.

Pertanyaannya, mungkinkah mengeksplorasi turis asal Singapore ke Indonesia lebih banyak? Dengan program apa? Dengan cara apa? Mencari momentum apa? Seberapa banyak proyeksi peningkatannya? Bukankah Batam-Bintan dari Singapore juga tidak sampai 60 menit? Akses kapal dari dan ke Singapore juga banyak? Harga juga tidak teramat mahal? Pintu masuk juga semakin banyak ke Batam-Bintan? Bahkan sudah ada kebijakan bebas visa kunjungan buat ekspatriat yang tinggal di Singapore?

Kedua, di Kuala Lumpur, ada kawasan pariwisata yang tergolong baru, yang tidak sulit secara fisik dan teknis dibuat. Bukit Bintang namanya. Tidak teramat jauh dari lokasi Menara "Twin Tower" Petronas, salah satu ikon Malaysia. Lokasinya di pusat kota. Di situlah cafe, tempat minum, restoran, tempat hiburan, tempat nongkrong, spa, refleksi, lokasi jalan kaki, yang mirip Legian dan Kuta Bali.

Desainnya western, meja-kursi di teras dan outdoor, lighting, bersih, rapi, dan sebagian ala Middle East. Sound system berbunyi, TV screen, sisha, tempak clubbing, hiburan yang modern, tempat berlama-lama ngobrol santai, aman, nyaman, bebas, dan sampai pagi. Kisaran 75-80 persen adalah wisatawan asal Middle East, Arab. Karena itu nama jalannya ditulis Arab Street.

Pertanyaannya, mungkinkan menciptakan ekosistem seperti itu di Jakarta? Yang punya aksesibilitas paling komplit? Atau Bandung yang lebih sejuk? Dan sudah dikenal di Malaysia? Atau Batam-Bintan yang secara geografis lebih dekat dengan Malaysia dan Singapore? Jawabannya: kita lebih dulu punya atmosfer seperti itu di Bali? Kuta, Legian, Ubud, Sanur, Seminyak sudah satu level begitu.

Jalan Jaksa Jakarta? Itu sudah lumayan, tapi masih terlalu sempit, terlalu kecil, dan kelasnya backpackers. Bagaimana dengan Kota Tua? Kota Lama? Sekaligus merevitalisasi kawasan itu agar lebih hidup dan menjadi objek wisata kelas dunia? Atau kawasan Braga Bandung? Sambil menikmati gaya arsitektural masa lalu yang sudah menjadi heritage. Kita tunggu saja.(R-1Y)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya