Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Jangan Sampai Becak BSA Siantar Tinggal Kenangan

Januari Hutabarat
11/11/2016 20:25
Jangan Sampai Becak BSA Siantar Tinggal Kenangan
(ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)

PEMATANGSIANTAR merupakan salah satu kotamadya di Provinsi Sumatra Utara. Di kota itu terdapat becak bermotor (betor) yang memiliki keunikan jika dibandingkan dengan betor di kota lain di Pulau Jawa, atau Kota Padang Sidempuan dan Kota Sibolga yang juga masih satu wilayah Sumut.

Betor Pematangsiantar ditarik oleh sepeda motor besar bertenaga 350 cc hingga 500 cc jenis Birmingham Small Arms (BSA) buatan Inggris. Sepeda motor tersebut sesungguhnya merupakan transportasi perang di zaman penjajahan Jepang.

Segudang sejarah terlintas di benak para sejarawan ketika melihat BSA yang tetap dirawat oleh warga Pematangsiantar, bahkan dijadikan alat untuk mencari nafkah setiap harinya.

Pemilik betor-betor BSA itu memang berasal dari latar belakang berbeda. Bahkan, tidak jarang di antara pemilik merupakan keturunan para pejuang kemerdekaan.

Selain itu, kendaraan tersebut bisa didapatkan dengan harga yang cukup murah berkisar Rp3 juta hingga 6 juta pada era 1980-an.

Namun, sebagian warga memilih tetap merawat sepeda motor BSA miliknya sebagai harta warisan leluhurnya saat merebut Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam.

Sejarah dan harta warisan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan, seperti dituturkan Yogi Sirait, 33, warga Kota Pematangsiantar.

Becak Pematangsiantar sudah lama dirasakan oleh warga setempat sebagai alat transportasi di perkotaan hingga perdesaan, tergantung pesanan dan kemampuan calon penumpang mengenai besaran tarif.

Seiring perkembangan zaman dan harga bahan bakar minyak (BBM) yang semakin meningkat, pemilik sepeda motor BSA di Kota Pematangsiantar pun mulai melepas kendaraan penuh sejarah itu dan menggantinya dengan buatan Jepang keluaran terbaru yang memang lebih irit.

Selain itu, kesulitan suku cadang sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi juga menjadi alasan para pemilik kenderaan BSA menjual sepeda motor antik milik mereka tersebut.

Jika motor BSA tersebut mengalami kerusakan, pemilik harus meluangkan waktunya satu hingga dua hari untuk membuat suku cadangyang akan diganti dengan cara dibubut.

Sedangkan dengan menggunakan sepeda motor terkini, para penarik betor bisa lebih hemat dan praktis jika ingin mengganti suku cadang.

Kesenjangan tarif dengan bahan bakar membuat pemilik dan penumpang tidak mendapatkan titik kesamaan yang berdampak kepada minimnya pendapatan penarik betor BSA.

Ridwan Saragih, 42, pemilik becak BSA Siantar mengaku telah menjual motor antiknya dan mengganti dengan motor jenis bebek keluaran terbaru. Selain alasan di atas tadi, harga jual motor antik yang menggiurkan membuat dirinya menjual BSA miliknya.

"Saya sudah menjual BSA yang diwariskan kedua orangtua dan menggantikannya dengan motor jenis Supra X. Lagipula, motor BSA saya akhirnya dijual seharga Rp60 juta, padahal sudah tidak ada surat kepemilikan resmi. Hanya kuitansi bermeterai Rp6.000 saja," katanya.

Kenaikan harga jual sepeda motor jenis BSA telah terjadi dalam lima tahun terakhir dengan harga bervariasi sesuai dengan kapasitas mesin (cc) motor serta kondisi.

Pada 2000-an, harga motor BSA mulai bergerak naik menjadi Rp10 juta sampai 15 juta. Pada 2010-an, harga motor perang itu melesat hingga kisaran Rp60 juta-Rp80 juta.

Kenaikan yang cukup signifikan itu terjadi karena semakin langkanya motor BSA di Siantar, sementara peminatnya kian bertambah. Umumnya, motor-motor BSA itu diboyong keluar Pulau Sumatra.

Kondisi itu pula yang mengakibatkan betor BSA khas Siantar terancam punah. Warga berharap, pemerintah setempat mengantisipasi kepunahan kendaraan tersebut dengan menjamin atau memberikan subsidi BBM dan suku cadang.

Sebagian pemilik betor Siantar memilih tetap menggunakan sepeda motor BSA dengan alasan harta warisan leluhur kendati mereka kalah bersaing dengan penarik betor modern yang memberlakukan tarif lebih murah.

Pemkot Pematangsiantar diharapkan mencari cara untuk turut melestarikan betor BSA yang menjadi salah satu ciri khas daerah mereka. Jangan sampai becak BSA Siantar tinggal kenangan sehingga generasi penerus tidak pernah lagi melihat wujudnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya