PESAWAT tipe Twin Otter yang saya tumpangi lepas landas dari Bandara Mozez Kilangin, Timika, Sabtu, 15 Agustus lalu. Burung besi itu akan membawa saya menuju Sugapa di pedalaman Papua. Sugapa dapat dicapai dengan penerbangan perintis dari Nabire atau Timika. Jika dari Timika, penerbangan ada dua kali dalam sepekan. Panorama alam Papua dari ketinggian sekitar 12 ribu kaki (3,6 km) membuat saya takjub. Apalagi ketika pesawat melintasi wilayah Pegunungan Tengah. Bebatuan karst dengan gagah berdiri membelah hutan belantara.
Jajaran pegunungan yang membentuk tumpukan layer begitu menggoda bidikan lensa kamera. Kemudian, tentu saja, hamparan putih di pucuk Pegunungan Jayawijaya, salju khatulistiwa yang menggenapi keelokan lanskap Bumi Cenderawasih. Setelah kurang lebih 45 menit mengudara, pemandangan pun berubah. Hutan dan pegunungan berganti atap-atap permukiman penduduk. Tak lama kemudian pesawat mendarat di Bandara Bilogai, Sugapa. Bilogai tidak seperti bandara di kota besar yang mempunyai ruang kedatangan penumpang, pengambilan bagasi, dan fasilitas lain. Di sana, begitu keluar dari pintu pesawat, saya langsung 'disambut' kerumunan para tukang ojek dan warga yang ingin membantu membawakan barang.
Debu yang beterbangan karena tiupan baling-baling pesawat seolah tidak mengusik mereka. "Amakane mama!" seru Maximus Tipagau, Ketua Yayasan Somatua yang mendampingi perjalanan saya. Ia memberi salam khas Papua pada mama-mama--sebutan untuk wanita dewasa--yang turut menyambut rombongan. Saya memutuskan menumpang ojek untuk menuju kediaman Maximus. Ia berasal dari desa tetangga, Ugimba, tetapi istrinya asli Sugapa.
Gerbang adat menuju Carstensz Salah satu daerah terpencil di pegunungan Papua ini masuk Kabupaten Intan Jaya, kabupaten yang terbentuk pada 2009 hasil pemekaran dari Kabupaten Paniai. Terletak di ketinggian sekitar 2.200 mdpl, belum ada jalur darat menuju Sugapa. Saat ini, hanya penerbangan perintis yang mampu menggapai distrik yang dikelilingi Pegunungan Bula Pigu, Mbulu-bulu Pigu, dan Jogo Pigu tersebut. Perjalanan saya ke Sugapa bisa dikatakan ketidaksengajaan. Awalnya, saya dan sejumlah jurnalis dari berbagai media massa terbang ke Papua untuk mendaki Puncak Carstensz Pyramid.
Kami merupakan bagian dari ekspedisi jurnalis yang mengangkat misi pencanangan Carstensz Pyramid menjadi destinasi wisata minat khusus dengan restu pemerintah. Namun, karena izin melintasi wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia yang merupakan gerbang terdekat menuju Carstensz tidak kunjung diberikan perusahaan tersebut, rombongan jurnalis memutuskan menuju basecamp gunung melalui wilayah Sugapa. Sayangnya, dari total 24 jurnalis nasional dan asing yang ikut, sebagian besar mengundurkan diri karena faktor keamanan dan waktu. Program pencanangan pun diurungkan.
Ada dua jalur untuk menuju Basecamp Carstensz dari Sugapa, yaitu melanjutkan ke Ugimba atau Soanggama. Keduanya memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu naik turun bukit melintasi hutan tropis dengan jarak puluhan kilometer. Karena itu, dapat dikatakan Sugapa merupakan gerbang masuk bagi petualang yang akan mendaki Carstensz jika melalui desa adat. Pendaki dapat mencari manol (porter) dari Sugapa. Biayanya lumayan mahal untuk kantong saya, yaitu Rp7 juta per orang. Namun, sesungguhnya biaya tersebut sebanding dengan jauhnya jarak dan beratnya beban yang dibawa manol.
Hanya dengan memakai noken, tas khas Papua, mereka mampu mengangkut beban hingga 40 kilogram. Sehari-hari, penduduk Sugapa hidup dari bercocok tanam dan berburu. Mama-mama biasanya menjual hasil kebun mereka di pasar tradisional yang letaknya dekat dengan lapangan Yokatapa. Komoditas utama yang dijual berupa sayur-mayur, ubi-ubian, dan buah-buahan. Sambil menunggu pembeli, tangan-tangan para mama biasanya sambil membuat noken. Tidak lupa sembari mengunyah pinang yang membuat bibir mereka memerah.
Semua lewat udara Rheza, rekan seperjalanan, membeli buah khas Papua, buah merah, dengan harga Rp20 ribu. Cukup murah memang. Namun, untuk komoditas lain, termasuk air minum, sabun, hingga mi instan, yang didatangkan dari luar Sugapa harganya bisa berkali-kali lipat karena jalur distribusi yang ditempuh hanya lewat udara. Saya sempat tercengang ketika harus membayar Rp25 ribu untuk satu botol air mineral ukuran 600 ml. Padahal, di Jakarta harganya hanya Rp3.000. Harga bahan bakar per liter Rp50 ribu.
Karena itu, ketika saya menanyakan ongkos ojek ke ujung desa dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam, tarifnya dipatok Rp600 ribu. Sinyal seluler pun hanya ada pada jam tertentu, yaitu pukul 09.00-14.00 dan 17.00-21.00 WIT. Solar yang digunakan untuk mengoperasikan menara BTS amat mahal. Itu pun hanya bisa untuk SMS dan telepon. Jangan harap bisa meng-update status media sosial karena jaringan internet belum tersedia di sana. Setelah berkeliling desa, saya menuju Masjid Ar Rahmah, masjid yang didirikan pendatang dari Pulau Jawa tidak jauh dari pasar.
Di dekat masjid, ada gereja Protestan, dan agak ke sisi timur ada juga gereja Katolik. Tempat-tempat ibadah yang berdekatan itu seolah mencerminkan kerukunan antarumat beragama di Sugapa yang amat baik. Menurut Maximus, tidak pernah ada bentrok atau kekerasan lantaran isu agama. Walau mayoritas warga Sugapa beragama Kristen dan Katolik, kaum muslim tetap dapat beribadah dengan tenang. Sembari menunggu kumandang azan asar, saya pun merebahkan tubuh yang lelah di teras masjid yang lengang.