Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
LAJU kapal motor berwarna putih mulai dikurangi begitu sang pengemudi melihat adanya warga yang menebang pohon mangrove. Thomas Heri Wahyono, salah satu penumpang kapal, dengan tegas memperingatkan warga tersebut agar menghentikan ulah. Meski suaranya tetap tenang, sesungguhnya pria yang akrab disapa Wahyono itu sedang berusaha menahan emosi. Rupanya memang bukan sekali itu saja ia mendapati warga menebang hutan bakau di sekitar Muara Dua, Desa Panikel, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng). Hampir setiap hari Wahyono dan kelompok pelestari bakau Patra Krida Wana Lestari yang ia dirikan menemukan warga yang menebang bakau dan pohon mangrove lainnya di wilayah pesisir kecamatan itu, termasuk di Segara Anakan. Tidak mengherankan harga per perahu kayu mangrove cukup menggiurkan, mencapai Rp200 ribu hingga Rp300 ribu.
Segara Anakan merupakan laguna raksasa yang terletak di Kecamatan Kawunganten dan berhadapan dengan Pulau Nusa Kambangan. Kecamatan Kampung Laut sendiri merupakan pemekaran dari Kecamatan Kawunganten. Di Segara Anakan, jenis tanaman penyusun yang dominan di tepi laut terdiri atas bakau (Rhizopora sp) dan api-api (Avicennia sp). Saat kami masuk lebih dalam, banyak ditemui pidada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp), truntum (Lumnitzera sp), Cerbera sp, ketapang (Terminali catapa) dan nipah (Nypha fruticans). Kerusakan mangrove di wilayah itu diperkirakan sudah terjadi sejak era 1970-an. Kerusakan makin tinggi akibat limbah dari kegiatan industri.
Rusaknya mangrove membuat Wahyono dan rekan-rekannya resah. Mereka paham betul bahwa bakau dan juga hutan mangrove sangat penting untuk menahan abrasi dan bahkan tsunami. Mereka pun memulai kegiatan lingkungan pada 2001. “Tidak hanya sekali, kami mendapati orang yang masih menebang pohon mangrove di sekitar Kampung Laut dan Segara Anakan. Kami memang tidak dapat menindak mereka lantaran bukan penegak hukum. Kalau memang menemukan mereka, paling kami hampiri terus dikasih tahu,” kata Wahyono kepada Media Indonesia, sepekan lalu. Tidak sekadar menegur, Wahyono dan kelompoknya memberikan pengertian dampak lingkungan dan ekonomi jika warga terus merusak bakau. Bukan hanya pantai yang terkikis gelombang, populasi biota laut akan turun dan akhirnya sumber pendapatan nelayan berkurang. Dengan kegigihan mereka, Wahyono dan kelompoknya pun disebut sebagai jaga wana Segara Anakan oleh warga.
Kolaborasi
Upaya Wahyono lambat laun menarik berbagai pihak. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan Perikanan, dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan (DKP2SDKSA) Cilacap serta Pertamina RU IV Cilacap memberikan dukungan untuk kegiatan pelestarian mangrove. “Tahun lalu, kami memberikan bantuan kapal patroli yang dikelola pokmaswas (kelompok pengawas masyarakat) untuk mengawasi secara swadaya hutan mangrove di sekitar Segara Anakan dan Kampung Laut. Selain itu, sejak 2009 silam, telah disalurkan bantuan bibit sebanyak 1 juta pohon melalui program corporate social responsibility (CSR),” ungkap Area Manager Communication and Relations Pertamina Jawa Bagian Tengah, Suyanto. Bersama dengan KKP dan DKP2SDKSA Cilacap, Pertamina RU IV juga membangun pusat konservasi mangrove. “Kini, laboratorium mangrove yang dikelola Kelompok Patra Krida Wana Lestari. Sudah ada 35 jenis mangrove yang dikoleksi. Dan akan terus ditambah karena ternyata masih ada jenis lainnya, tapi belum ketemu,” tambah Suyanto.
Laboratorium atau disebut juga pusat konservasi itu terletak di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kampung Laut. Wahyono menjelaskan pihaknya melakukan pembibitan mangrove di area itu. Kegiatan itu berjalan baik hingga mereka bisa menghasilkan bibit yang mampu menghijaukan 160 hektare kawasan pesisir. Kualitas bibit mangrove yang mereka hasilkan juga diakui masyarakat luas. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pesanan bibit mangrove yang mereka terima, bahkan hingga dari Semarang. Seiring dengan keberhasilan itu, fungsi kawasan konservasi tersebut terus berkembang hingga menjadi tujuan penelitian mahasiswa. Wahyono menyebutkan mereka rutin kedatangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor (Bogor), dan Universitas Jenderal Soedirman (Purwokerto).
Turis pun tidak ketinggalan mendatangi kawasan ini. Antusiasme masyarakat itu membuat pihak pengelola kawasan meningkatkan fasilitas dan infrastruktur, termasuk membuat jembatan kayu dan gardu pandang. Kepala DKP2SDKSA Cilacap Supriyanto mengakui upaya pelestarian hutan mangrove harus dilakukan secara bersama. “Hingga kini telah terjalin kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sehingga mangrove di Cilacap akan benar-benar bisa dipertahankan dengan melibatkan berbagai pihak, tuturnya. Ia menambahkan penyelamatan mangrove perlu dilakukan secara terpadu melalui penguatan berbasis pesisir dan sungai atau integrated coastal and river management (ICRM). “Jadi, pendekatan yang dilakukan tidak hanya pesisir dan kelautan, tetapi juga daerah hulu yang sungai-sungainya bermuara ke sekitar Segara Anakan yang ditumbuhi mangrove. Integrasi program semacam ini sangat penting dengan melibatkan seluruh stakeholder,” tandasnya. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved