Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Mudik, Oase Rindu Kampung Halaman

Gana Buana
06/5/2022 20:00
Mudik, Oase Rindu Kampung Halaman
Kendaraan pemudik melintas saat pemberlakuan "one way" arus balik di Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, Jumat (6/5/2022).(ANTARA)

KELONGGARAN mudik pada lebaran Idul Fitri 2022 disambut antusiase masyarakat. Keputusan presiden Joko Widodo ibarat pelepas dahaga setelah dua kali larangan mudik lebaran di masa pandemi. 

Ketua Gerakan Pemuda Desa mandiri (Garda Sandi) Cokro Wibowo Soemarsono  mengungkapkan, meski kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi ternyata tidak menyurutkan animo masyarakat untuk mudik lebaran. Keinginan bertemu keluarga dan handai taulan mengalahkan kondisi ekonomi para perantau. 

“Mudik merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang telah berlangsung sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Tradisi mudik lebaran diyakini mulai terjadi pada masa kerajaan Mataram Islam,” ungkap Cokro saat dihubungi, Jumat (6/5).

Pada lebaran Idul Fitri tahun 2020 dan 2021, pemerintah memberlakukan larangan mudik untuk mengendalikan pandemi covid-19. Kini, setelah massifnya pelaksanaan vaksinasi, masyarakat akhirnya dapat kembali merasakan kenormalan ibadah ramadhan dan lebaran Idul Fitri seperti biasanya.

Sebagian sejarawan, Cokro menyebut tradisi mudik sudah dikenal pada era Majapahit yang dikenal memiliki wilayah kekuasaan sangat luas hingga ke semenanjung Malaya. Pejabat pemerintahan di wilayah jauh tersebut secara rutin menghadap Raja guna menyatakan kesetiaan dan melaporkan jalannya pemerintahan.

“Budaya mudik pada masa Indonesia modern terjadi seiring dengan meningkatnya urbanisasi sejak awal Orde Baru. Gencarnya pembangunan dan industrialisasi, membuat aktivitas mudik menjadi rutinitas tahunan para perantau. Momentum lebaran serta syawalan yang dipandang baik untuk merajut tali silaturrahim dengan sanak saudara, menyebabkan tradisi mudik awet hingga kini,” ujar Cokro.

Baca juga: 260 Ribu Kendaraan Masuki Puncak Sejak H+1 Lebaran

Menurut Cokro, selain untuk mengunjungi dan berkumpul bersama keluarga, tradisi mudik juga dimaksudkan agar bisa berbagi dengan keluarga besar di kampung.

"Momen berbagi ini sekaligus untuk meminta doa agar pekerjaan dan penghidupan di perantauan berlangsung makin baik. Mudik juga terapi spritual dan psikologis di antara kesibukan dan rutinitas pekerjaan," jelas dia.

Namun Cokro mengingatkan, budaya mudik berpotensi menyebabkan nilai-nilai primordial jadi awet di tengah masyarakat perkotaan. Menurut Cokro, identitas genetis, suku, bahasa dan budaya asal, serta identitas sosial bakal terus melekat meski para perantau telah tinggal di kota lebih dari satu generasi.

Padahal menurut Cokro, beragam persoalan perkotaan yang kompleks, seperti kemiskinan, kekumuhan, dan kriminalitas membutuhkan tanggung jawab dan keikutsertaan seluruh warganya, termasuk warga perantau.

"Semoga dua kali larangan mudik karena pandemi pada dua tahun lalu, yang juga disertai kondisi kesulitan ekonomi parah sebagian besar warga, telah melatih tanggung jawab sosial masyarakat perantau di perkotaan. Dua lebaran tanpa mudik itu telah membentuk kesetiakawanan sosial dan budaya gotong royong," tandas Cokro. (R-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik