Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Di Ende, Kompor Menyala dari Pelet Berbahan Limbah Organik

Iis Zatnika
05/9/2021 23:38
Di Ende, Kompor Menyala dari Pelet Berbahan Limbah Organik
Pelet dari limbah organik dan daun-daunan disukai warga Ende karena menghasilkan api yang merah.(Dok Comestoarra)


Tradisi masyarakat Lio dan inovasi Comestoarra dipertemukan dalam upacara pembuatan kompor tanah liat berbahan bakar pelet TOSS alias Teknologi Olah Sampah di Sumbernya. Kompor itu akan digunakan warga Desa Wolotolo, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Para pemuka adat dan warga berkumpul, mendoakan peranti yang menjadi penanda perubahan besar produksi dan konsumsi energi di Ende yang juga diharapkan terus bergulir ke berbagai penjuru negeri.

Kompor yang diproduksi melalui proses penjemuran dan pembakaran, serta sebelumnya diriset tujuh anggota tim Comestoarra itu menggantikan keberadaan kompor minyak tanah yang selama ini menjadi andalan para ibu. Mereka beralih ke sumber energi tak berbayar yang berasal dari sampah organik, yang didominasi limbah dapur dan daun-daunan dari kebun.            

"Di Ende, penggunaan kompor gas elpiji tidak pupuler karena warga masih belum yakin dengan keamanannya, dan secara adat pun mereka meyakini api itu harus merah, bukan biru. Jadi, ketika kami menguji coba penggunaan pelet TOSS dari fermentasi sampah organik, yang menghasilkan api dan bara merah, warga pun menyambut," ujar Arief Noerhidayat, Direktur PT Comestoarra Bentarrra Noesantarra kepada Media Indonesia, Selasa (31/8). Perusahaan rintisan ini menginisiasi kolaborasi berbagai pihak, mulai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), PT PLN hingga pemerintah daerah.

Cofiring di PLTU
Namun, pelet berwarna hitam dengan ukuran 1-12 milimeter itu bukan cuma menjadi solusi bagi dapur yang lebih hijau, namun juga mulai merubah wajah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa  di Dusun Ropa, Desa Kaliwumbu, Kecamatan Morule, Ende. Sebanyak 10 hingga 20 ton pelet telah masuk dalam skema cofiring untuk mensubtitusi sebagian pasokan batubara. Ke depan, dengan pasokan pelet yang meningkat sekaligus stabil hingga 60 ton per hari, diharapkan subtitusi ke energi baru itu bisa mencapai 30%.

Kerja bareng di bidang energi terbarukan itu dirintis Comestoarra pada 2019 setelah sebelumnya melalui perjalanan bergiat dalam aneka inovasi energi hijau di Klungkung, Bali, Jepara, Jawa Tengah hingga di  Penjernihan, Jakarta. Namun, pelet TOSS kemudian diyakini Arief dan timnya yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat sebagai solusi energi terbarukan paling efektif berkat berbagai dukungan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementrian ESDM. Pun, berbagai penilaian dan evaluasi dari juri berbagai kompetisi yang mereka ikuti.

"Semua pihak berkepentingan pada solusi yang kami tawarkan yang meliputi pengelolaan sampah, sumber energi terbarukan serta penguatan komunitas sehingga dukungan datang dari berbagai pihak."

Bahan baku utama pelet TOSS, kata Arief, adalah aneka jenis sampah organik dan dapur yang diolah dalam peranti fermentasi ditambah bioaktivator yang juga dibuat mandiri secara organik. "Produksi pelet TOSS ini bisa dilakukan berbasis komunitas desa atau RW dengan produksi sampah sekitar 10 ton per hari. Rinciannya, sampah bernilai ekonomi yang bisa diambil pemulung 20-30%, organik 70-60% dan sampah residu berupa baterai dan tidak bisa dimanfaatkan seperti popok sekali pakai sebanyak 10-20%. Kami bergerak di sampah organik itu," kata Arief.

Hijau dan Murah
Prosesnya, kata Arief, sampah dicacah dan ditambahkan bioaktivator untuk mempercepat fermentasi dan menghilangkan bau. Proses dilakukan dalam kotak bambu hingga kering dan selanjutnya dibentuk menjadi pelet. "Metode dan teknologi yang kami gunakan adalah perpaduan berbagai hasil riset sains. Proses membuat pelet ini tidak berbau, kering tanpa air lindi, tidak berbahaya, begitu pula produk jadinya."

Dalam konteks penggunaan pelet TOSS untuk rumah tangga, selain kompor tanah liat, kompor yang digunakan juga jenis besi yang kini diproduksi para siswa SMKN 2 Ende. "Jadi perbandingannya, pelet itu kalorinya 3.500 kalori sedangkan gas 10.000. Untuk mendidihkan satu liter air dengan gas itu butuh waktu 7 menit, sedangkan dengan pelet TOSS 20 menit. Jadi memang masih ada selisih waktu yang sebenarnya masih bisa ditoleransi, namun tak kalah pentingnya dari segi biaya, penggunaan pelet bisa menhilangkan biaya pembelian minyak tanah untuk satu keluarga bisa Rp200-500 per bulan. Warga bisa mengambilnya langsung secara gratis di sentra produksi pelet dan kelak pemerintah desa bisa mengelolanya dalam Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) misalnya."

Solusi bagi masalah sampah kota
Di Ende kini telah aktif dua sentra produksi pelet yang berlokasi di wilayah milik Dinas Lingkungan Hidup dan selanjutnya tengah dikembangkan 7 sentra. "Memang harus ada subsidi untuk biaya pendirian dan sudah dilakukan di Ende. Di tingkat nasional, jika konsep ini akan diberlakukan harus keterlibatan pihak-pihak yang ingin berkontribusi bagi pelayanan publik, terutama untuk modal awal yang bisa mencapai Rp2,7 miliar. Dalam proses ini kami terus melakukan transfer pengetahuan. Harapannya, semakin banyak pihak dan aderah yang terlibat. Saat ini di Jakarta saja produksi sampah mencapai 7.000 ton setiap hari dan diperkirakan nak naik 30% sesuai pertambahan penduduk."

Kolaborasi untuk transisi energi
Kiprah Comestoarra yang pantang mundur di masa pandemi, terus bergiat di Ende untuk mengejar target cofiring, itu juga dibagikan Arief pada APEC Workshop on Community Based Waste to Energy Management, pada 27-30 Juli 2021. Saat membuka pelatihan yang menghadirkan narasumber dari Jepang, Swedia, Malaysia, Korea, Inggris, serta pelaku usaha pengelolaan limbah di Indonesia itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menyampaikan kegiatan pengelolaan limbah untuk produksi energi mendukung misi pemerintah mengembangkan energi terbarukan sekaligus berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca di kawasan APEC yang ditargetkan meningkat dua kali lipat pada 2030.  Karena itu, perlu dilaksanakan transisi dari energi fosil ke energi rendah karbon, salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah.

Dadan menegaskan, Kementerian ESDM mendukung upaya pihak-pihak yang berpartisipasi dalam ikhtiar itu, kendati Indonesia masih berjuang untuk menangani sampah pada skala besar. "Inisiatif dalam skala kecil terbukti berkontribusi positif. Oleh sebab itu, manajemen limbah berbasis komunitas dapat menjadi alternatif dalam meminimalisir akumulasi."

Bukan cuma Comestoarra yang eksis dalam acara yang menyepakati pentingnya pendekatan energi hijau untuk setiap kondisi komunitas itu, ada pula Yayasan Rumah Energi yang terbaru membangun reaaktor biogas di Desa Sukamanah, Pangalengan, Kabupaten Bandung. Melaksanakan pembangunan biogas yang diinisiasi Kementerian ESDM dan Hivos, sejak 2009, Rumah Engeri telah membangun 25.545 unit hingga Juni 2021 di 14 provinsi. "Jumlah itu telah mencapai 50% target nasional," ujar Communication and Stakeholder Relation Yayasan Rumah Energi Annisa A. Hanifa.

Reaktor biogas dari kotoran ternak hingga limbah domestik rumah tangga dengan  biaya pembangunan mulai Rp5 juta itu sukses menyalakan kompor serta menghasilkan pupuk. "Kami baru saja membangun sensor biogas yang dapat mendeteksi kerja reaktor, proses dan energi yang dihasilkan, sehingga jika ada masalah dalam pasokan pun bisa segera diatasi," kata Annisa tentang inovasi terbaru yang telah diterapkan di 50 unit reaktor biogas di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Comestoarra, Rumah Energi serta para pelaku energi baru dan terbarukan tak mundur ditantang pandemi, mereka terus bergerak mengalirkan harapan transisi menuju energi hijau. (*/X-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iis Zatnika
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik