Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
SEUSAI menjalankan salat Subuh, Erna Leka langsung disibukkan dengan berbagai urusan, mulai urusan rumah tangga umumnya hingga mengurus tambak udang yang tidak jauh dari rumah.
Kegiatannya dimulai dengan mematikan kincir dan menebar pakan di tambak seluas 200 meter persegi ini. Seperti keluarga lain di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, itu menggantungkan hidup pada usaha budi daya udang vaname (udang kaki putih).
Meski pada prinsipnya Erna hanya membantu suami, kenyataannya peran perempuan itu sangat penting bagi usaha yang telah berjalan sejak 1995 itu. Terlebih, lingkungan mereka belum dilayani listrik PLN, alias bergantung pada genset. Karena itu, tugas mengoperasikan kincir dan menebar pakan bukan perkara mudah. Erna pun mengaku terbiasa tidak pulas karena kerap harus bangun memeriksa kincir.
Keseharian serupa juga dilakoni banyak istri nelayan dan petambak di sana. Bahkan, tidak sedikit yang terbiasa bekerja membersihkan lumpur tambak.
Ia memperkirakan keterlibatan aktif perempuan di kegiatan budi daya perikanan di wilayah itu mencapai 48%. “Kami ini berperan aktif dalam mencari penghasilan hidup. Bagaimana jadinya kalau nelayan laki-laki tidak dibantu perempuan, bukan tidak mungkin akan kewalahan,” ujarnya kepada Media Indonesia, Kamis (14/4).
Kelompok persaudaraan
Meski itu penting, sayangnya peran perempuan nelayan kerap tidak diakui dan diapresiasi. Jumiati, seorang istri nelayan, mengungkapkan bahkan masih ada pandangan yang mencibir bahwa istri berperan besar dalam kegiatan perikanan sang suami.
Contohnya saat para istri menjual hasil tangkapan para suami. Ada warga yang menilai itu sebagai bentuk ketidakberdayaan suami terhadap istri. Padahal, sesungguhnya pembagian tugas itu merupakan kesepakatan bersama suami istri.
Di samping itu, pembagian tugas tersebut sesungguhnya membuat pekerjaan mereka lebih efisien. Menurut Jumiati, pada siang hari ketika mendekati waktu nelayan akan kembali ke pantai, para istri sudah bersiap-siap di pinggir pantai dengan membawa boks es. Dengan begitu, ikan bisa cepat ditangani dan dijual.
Jumiati juga melihat sesungguhnya para istri bisa berperan mengubah citra nelayan dari yang selama ini identik dengan kelompok miskin dan terbelakang. Demi cita-cita itu pula, Jumiati pun menyambut pembentukan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) yang diinisiasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Ia didapuk sebagai Ketua Dewan Presidium PPNI.
Lewat kelompok itu, para istri nelayan berharap keberadaannya juga diperhatikan pemerintah. Salah satunya, mereka berharap adanya pelatihan keterampilan ataupun bimbingan pemahaman soal hukum.
Selama ini, pelatihan sejenis hanya diberikan kepada nelayan laki-laki. “Kami memiliki organisasi, berikan kami pelatihan semisal memunculkan nilai tambah dari hasil budi daya kami sehingga yang dijual tidak hanya berupa udang,” tutur Erna.
Ia mengaku pernah satu kali ada pelatihan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) soal pembuatan nugget. Namun, pelatihan itu dirasa mereka tidak sesuai dengan kondisi lapangan yang sulit listrik. Mereka berharap adanya pelatihan yang lebih peka dengan tantangan mereka sehari-hari.
Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengatakan jumlah perempuan nelayan di Indonesia berkisar lebih dari enam juta. Pemberdayaan dan pelatihan beberapa kali diadakan, tapi masih berkisar pada proses pengolahan ikan dan pengolahan hutan mangrove.
“Selama ini, pemerintah mendefinisikan pemberdayaan dalam bentuk bantuan, baik dana, peralatan, maupun penguatan kapasitas. Hanya, pelaksanaan program pemberdayaan dilakukan secara serabutan,” kata Abdul Halim. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved