Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
SEJUMLAH sepeda motor beriring-iringan melintas di ruas jalan Trans-Kalimantan, mulai Kabupaten Tanah Laut hingga Liang Anggang, Kalimantan Selatan.
Setiap pengendara sepeda motor membawa kayu ulin yang ditaruh di jok belakang. Masyarakat setempat menyebutnya ojek ulin. Masyarakat yang baru pertama kali datang ke Kalimantan Selatan biasanya heran melihat keberadaan ojek ulin itu. Potongan-potongan balok kayu super dan berharga mahal, dengan ukuran 1-1,5 meter diangkut dengan ojek ulin itu.
Para pengojek ulin itu melaju dengan kecepatan tinggi menyusuri ruas jalan Trans-Kalimantan setiap harinya mengangkut kayu-kayu mahal tersebut. Beban muatan kayu yang diangkut bisa mencapai setengah ton atau hampir satu kubik. Untuk bisa mengangkut kayu yang sangat berat, para pengojek memodifikasi sepeda motor dengan menambahkan shockbreaker. Tangki bensin kemudian dipindahkan dari bawah jok ke bagian depan agar mudah saat mengisi bahan bakar di jalan.
Pengojek juga menambahkan besi yang dipasang melintang untuk menahan kayu serta mengganti ban standar dengan ban khusus sepeda motor trail. Tidak jarang mereka menambahkan rantai agar sepeda motor dapat menerobos medan berlumpur, saat mengambil kayu di hutan. Sofwan, 43, bersama 100 lebih pengojek ulin lainnya mengaku pekerjaan yang ditekuni merupakan pekerjaan utama yang cepat menghasilkan uang. "Sekarang sulit mencari pekerjaan.
Ojek ulin jadi prioritas karena cepat dapat uang," ungkap Sofwan saat ditemui sedang istirahat di warung kopi di Desa Tajau Pecah. Menurutnya, ada dua jenis pengojek ulin, yaitu mereka mengojek sekaligus pedagang kayu yang mencari kayu ke pelosok desa. Kelompok itu biasanya menjual sendiri kayu mereka ke perusahaan penggergajian kayu, yang tersebar di perbatasan Kota Banjarbaru, Kabupaten Bankar, dan Kota Banjarmasin.
Pengojek sekaligus pedagang kayu itu rata-rata mampu menghasilkan uang Rp300 ribu-Rp400 ribu per hari, sedangkan pengojek ulin hanya murni menjual jasa pengangkutan kayu. Untuk sekali angkut, Sofwan mendapat uang sekitar Rp100 ribu-Rp150 ribu. Dengan jarak tempuh sekitar 100 kilometer, umumnya tukang ojek ulin akan singgah dua hingga tiga kali di warung untuk beristirahat.
Mereka juga ekstra hati-hati saat berkendara karena pekerjaan tersebut rawan kecelakaan. Sebetulnya pemerintah telah melarang perdagangan kayu ulin, terutama di luar Kalsel. Namun, perdagangan ulin terus berlangsung sampai kini. Pemkab Tanah Laut lewat SK Bupati No 3/2005 memberikan kelonggaran bagi warga untuk berdagang kayu ulin dengan ukuran panjang maksimal 1,5 meter. Sebetulnya hanya limbah kayu ulin yang boleh dijual. Akan tetapi, fakta di lapangan berbeda. Wakil Bupati Tanah Laut Sukamta pun membenarkan hal itu dan menyerahkan semua tindakan kepada aparat hukum. (Denny Susanto/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved