Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KEDAMAIAN sudah berumur lebih dari 19 tahun. Benci dan curiga telah lama sirna. Siti Naimah, 22, orangtua dan keluarganya, yang tinggal di Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sempat mengungsi sejak 2001, ketika konflik pecah. Saat kembali, pada 2008, Naimah memilih tinggal di Jalan Murjani, Kota Palangka Raya. Keluarganya yang lain kembali dan tetap tinggal di Sampit.
“Saya adalah generasi keempat dari leluhur berdarah Madura yang lahir dan hidup di Sampit. Kerusuhan Sampit menjadi pelajaran untuk kami menata kehidupan baru,” ujar ibu satu anak itu.
Saat ini, kata Imah, demikian dia biasa disapa, warga Madura tak lagi hidup berkelompok. Mereka sudah membaur dengan warga dari suku lain yang hidup di Kalimantan Tengah, baik Dayak, Jawa, Sunda, maupun Bugis.
Beragam suku hidup di provinsi ini. Jumlah warga berdarah Dayak paling banyak. Sementara itu, Madura berada di posisi kelima, setelah Dayak, Jawa, Banjar, dan Melayu. Suku lain yang hidup dan berkehidupan di sini ialah Bugis, Batak, Flores, Bali, dan sejumlah suku lain.
Setelah konflik 2001 terjadi banyak perbaikan yang dilakukan setiap suku. Salah satunya ialah menjadikan musyawarah sebagai penyelesaian masalah.
“Ini mungkin yang dimaksud dengan falsafah rumah betang yang selalu mengutamakan musyawarah jika ada masalah,” jelas perempuan yang kesehariannya berdagang sayur keliling ini.
Yang ia rasakan saat ini tidak ada kelompok yang menonjolkan kekerasan. “Jika ada masalah, diselesaikan secara damai.”
Sementara itu, Damang Kepala Adat Jekan Raya, Palangka Raya, Kardinal Tarung, 66, menyatakan warga suku Dayak tidak akan merusak persaudaraan. “Kami secara historis terikat pada Perjanjian Damai Tumbang Anoi pada 1894 yang mengakhiri peperangan antarsuku di Kalimantan.”
Saat ini, di Kalimantan Tengah, rumah betang sebagai rumah yang ditinggali bersama memang sudah jarang ditemui. Kebanyakan sudah menjadi cagar budaya, yang secara fisik masih terpelihara baik.
Namun, bagi masyarakat Dayak, falsafah rumah betang masih kukuh dipegang. Falsafah itu ialah hukum adat yang jadi kesepakatan dan ditaati bersama.
“Sebenarnya, Suku Dayak tidak mengedepankan hukuman fisik. Kami lebih memilih filosofi damai,” lanjut Kardinal Tarung.
Dayak juga menganut falsafah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. “Bukan hanya di tanah Borneo, tapi juga di mana kami berada, demi kebersamaan dan kedamaian,” sambungnya.
Dalam praktik sehari-hari, kala perselisihan dan ketidakharmonisan terjadi, baik karena gesekan antarsuku atau antaragama, semakin keras pula filosofi rumah betang digaungkan untuk mempersatukan. “Kesukuan itu bukan kehendak individu. Sementara agama ialah pilihan, sehinga seharusnya tidak ada alasan untuk merusak kebersamaan,” tandas Kardinal. (Surya Sriyanti/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved