Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
HUJAN baru saja berhenti mengguyur saat Baim bersantap siang. Ia menikmati bekal makanan bersama Ma'ah di sebuah pondok jualan di pinggir pantai. Pasangan suami-istri itu pun melepas penat setelah hampir seharian memanggul puluhan kilogram ubur-ubur.
''Saya berdua sama istri mengangkut ubur-ubur. Hari ini kami baru dapat lima kali (angkut),'' kata Baim, 46, saat ditemui Media Indonesia, pertengahan April lalu.
Baim dan Ma'ah telah setahun ini menjadi buruh panggul ubur-ubur. Mereka memanggul hasil laut tersebut dari perahu penangkap ke pabrik pengolahan. Jaraknya sekitar 100 meter. Ubur-ubur tersebut dipanggul dengan menggunakan keranjang plastik, yang memuat 14 hingga 20 ekor. Baim dan Ma'ah bisa mengangkut hingga sembilan keranjang sehari.
Menjadi buruh panggul juga dilakoni Hasna dan Laila. Kedua perempuan itu sudah tiga kali hilir mudik memanggul keranjang berisikan belasan ekor ubur-ubur. Hasna membalur wajahnya dengan masker pendingin untuk mengatasi sengatan mataharii.
Buruh panggul menjadi pekerjaan sampingan warga di Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, saat musim ubur-ubur. Selain berpasangan, ada juga warga yang memanggul sendiri ubur-ubur dengan menggunakan ember. Mereka mendapat upah sebesar Rp400 untuk setiap ekor ubur-ubur yang diangkut.
Upah tersebut diterima dari kilang atau pabrik pengolahan yang membeli tangkapan nelayan. ''Kalau mengangkutnya berdua, upahnya dibagi, jadi Rp200 (per orang),'' ujar Ma'ah, 45.
Jais ialah satu di antara warga Temajuk yang menjadi nelayan ubur-ubur. Berbekal galah bermata pengait dari besi, ia siang itu meraup sekitar 200 ekor ubur-ubur. Jais cukup berlayar sejauh 100 meter atau sekitar 10 menit dari bibir pantai untuk memulai perburuannya. Satu jam berselang, perahu milik lelaki 40 tahun itu pun mulai sarat dengan ubur-ubur.
''Paling bagus itu setelah hujan. Air (laut) menjadi hangat sehingga ubur-ubur bertimbulan,'' jelasnya.
Komoditas ekspor
Begitu perahu motor Jais merapat, para buruh panggul pun langsung mengerubungi untuk membongkar dan menyiangi ubur-ubur. Mereka memisahkan tubuh biodata laut tersebut dengan memotong bagian kepala atau kubah dan kaki atau tentakelnya. Pemisahan itu menyesuaikan standar harga yang ditetapkan pabrik.
''Kepala harganya Rp1.500, sedangkan kakinya Rp800. Kalau utuh, harganya Rp2.300. Namun, kilang hanya mau menerima yang sudah dipisah,'' jelas Jais.
Potongan ubur-ubur kemudian diangkut dengan keranjang terpisah ke kilang untuk diolah. Pengolahan meliputi beberapa tahap pembersihan dan pengawetan sehingga ubur-ubur menjadi lempengan kering. Bobot satwa bertubuh transparan itu pun menyusut hingga 95% dari berat segar setelah diolah.
Ubur-ubur kering selanjutnya dikemas dan siap dipasarkan ke mancanegara. Di negara tujuan, ubur-ubur kering diolah menjadi berbagai menu masakan oriental alias Chinese food, semisal salad dan rujak shanghai.
''Produk kami diekspor ke Taiwan, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Pemasarannya melalui Kuching (Malaysia),'' kata Burnadi, 28, pengawas sebuah pengolahan ubur-ubur di Temajuk.
Di Malaysia, produk asli Temajuk itu disortir dan dikemas ulang sebelum diekspor kembali ke berbagai negara. ''Untuk diekspor standarnya sangat ketat, kualitas produk ataupun kemasannya,'' lanjut Burnadi, yang pernah bekerja selama 10 tahun di pengolahan ubur-ubur di Malaysia dan Thailand.
Kilang yang kini diawasi Burnadi menampung sekitar 600 ubur-ubur segar setiap hari dengan rata-rata produksi sebanyak 800 ekor ubur-ubur kering per hari.
Mereka mempekerjakan 16 orang, yang sebagian besar ialah warga setempat. Seperti penangkap ubur-ubur dan buruh panggul, mereka juga pekerja musiman.
Buruh pengolahan ubur-ubur tersebut bekerja selama 10 jam sehari dengan sistem upah harian yang dibayarkan setiap minggu. Upah untuk buruh perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Alasannya, buruh laki-laki menangani lebih dari satu jenis pekerjaan dan banyak menguras tenaga.
''Laki-laki upahnya Rp100 ribu, sedangkan perempuan Rp75 ribu per hari. Pekerjaan yang laki-laki lebih berat karena harus ikut mengangkat dan memindahkan ubur-ubur,'' terang Burnadi.
Perputaran uang
Temajuk merupakan satu di antara 40 desa di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Penangkapan dan pengolahan ubur-ubur di desa itu berpusat di Dusun Camar Bulan. Dusun tersebut sempat menjadi berita besar saat Malaysia mengklaimnya sebagai teritorium mereka sekitar empat tahun lalu.
Puncak musim ubur-ubur di Camar Bulan berlangsung sekitar Maret-Mei. Aktivitas di sepanjang pantai di dusun tersebut pun tidak pernah sepi.
Deretan perahu motor bertambat setiap hari untuk menurunkan ubur-ubur yang mereka tangkap di laut. Sebagian warga pun beralih profesi menjadi penangkap, pengangkut, dan pengolah ubur-ubur.
Warga Camar Bulan pertama kali mengenal pemanfaatan ubur-ubur sekitar 1987. Saat itu ada dua perusahaan yang mendirikan kilang di sana. Mereka menampung tangkapan nelayan dan mempekerjakan warga untuk mengangkut dan mengolah ubur-ubur.
''Saat ini ada 11 kilang di Camar Bulan, tapi dua kilang yang pertama berdiri itu sudah tidak ada lagi,'' kata Sekretaris Desa Temajuk Asman.
Perekonomian di Temajuk, terutama di Camar Bulan, pun menggeliat berkat ubur-ubur. Warga memperoleh pendapatan alternatif selain dari bertani dan menangkap ikan di laut.
Asman memperkirakan tidak kurang dari Rp3 miliar perputaran uang selama musim ubur-ubur. Itu nilai yang sangat besar untuk sebuah dusun terpencil.
''Informasi dari para bos (pemilik) kilang, lebih dari 1 juta ubur-ubur yang dihasilkan dari Temajuk selama musim panen,'' lanjut Asman, yang juga pejabat sementara Kepala Desa Temajuk.(N-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved