Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Bangkitkan Persatuan Indonesia Melalui Semangat Gotong Royong

Dero Iqbal Mahendra
25/3/2019 20:25
Bangkitkan Persatuan Indonesia Melalui Semangat Gotong Royong
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di acara Kenduri Nusantara di Gunung Tidar, Magelang, Jawa tengah, Minggu (24/3)(Istimewa)

PENTAS pemilu kali ini dikhawatirkan menjadi salah satu katalisator pemecah masyarakat. Padahal Indonesia sebagai negara yang besar memerlukan persatuan untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang besar di masa depan.

Jika menilik ke belakang para pendiri Indonesia sesungguhnya telah membuat fondasi yang kuat guna menghindari perpecahan di masyarakat yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Fondasi yang dimaksud adalah nilai kegotongroyongan antar masyarakat.

Sifat gotong royong pada akhirnya menjadi perekat atas keberagaman masyarakat di Indonesia, sehingga tercipta persatuan Indonesia. Sifat gotong royong menunjukkan masyarakat Indonesia yang kuat serta toleran terhadap siapapun tanpa memandang suku, ras, atau agama.

Berbekal semangat untuk menimbulkan kembali rasa persatuan Indonesia, masyarakat Magelang, Jawa tengah menggelar prosesi Kenduri Nusantara di Gunung Tidar, pada Minggu (24/3), dengan tema Selametan Puser Bumi.

Acara tersebut pun menjunjung tinggi sifat gotong royong yang mulai ditinggalkan masyarakat Indonesia, yang kini mudah dipecah belah. Acara serupa sebelumnya telah diselenggarakan di Solo dan Pati.

"Tiap warga memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya. Dalam acara ini disediakan 21 tumpeng dimana 9 diantaranya berwarna merah putih sebagai simbol persatuan Indonesia. Selain itu juga ada persembahan gunungan hasil bumi serta pementasan seni bertema Jawa. Makanan yang disajikan itu juga sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat pangan yang diberikan oleh Tuhan," ujar Kepala Desa Jambewangi, Pakis, Kabupaten Magelang, Arianto, dalam keterangan persnya Senin (25/3).

"21 gunungan itu representasi dari 21 kecamatan di kabupaten Magelang. Untuk peserta, masing-masing desa mengajak 10 orang warganya. Jika ada 364 desa di wilayah Kabupaten Magelang maka akan berkumpul setidaknya 3,600 orang," imbuh Arianto.

Acara yang dihadiri oleh sekitar 4.000 warga ini sebenarnya sederhana, yakni menikmati makan tumpeng bersama dan berdoa untuk persatuan Indonesia.

Baca juga : MPR Optimis Pemilu Berlangsung Damai

Tetapi mengandung pesan yang sangat kuat. Para pengunjung sama-sama berharap agar masyarakat Indonesia bisa kembali mempelajari adat istiadatnya, seperti kenduri dan sifat gotong royong sebagai identitas bangsa.

Dalam kegiatan tersebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga turut ambil bagian. Ganjar mengapresiasi kegiatan ini dan meminta agar masyarakat terus memper erat tali silaturahmi antar warga.

Acara ini pun diharapkan menjadi peredam atas panasnya situasi politik pada pemilu tahun ini. Acara yang diinisasi oleh warga lokal ini mewajibkan pengunjungnya untuk tidak membawa atribut politik apapun. Malah, mereka disarankan untuk mengenakan pakaian adat.

Dengan demikian warga berharap, acara tersebut bisa memberikan dampak positif dan dapat ditiru oleh Kota-Kota lainnya dengan semangat yang sama, sehingga masyarakat Indonesia sadar bahwa euforia pemilu hanya bersifat sementara. Sedangkan, hubungan sosial antar manusia bersifat selamanya.

Ari Sujito, Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menjelaskan, kenduri atau doa bersama adalah wujud kepedulian warga terhadap situasi berbangsa dan bernegara melalui tradisi lokal masing-masing.

Kegiatan serupa sudah berlangsung di Solo, Pati, Grobogan, Karanganyar, Blora, Kendal, Temanggung, Klaten juga masyarakat di lingkungan Candi Cetho, bahkan Bojonegoro dan Gresik di Jawa Timur, sebagai rangkaian Kenduri Nusantara 2019.

"Ini merupakan perjuangan masyarakat di tengah kemerdekaan, yang dihadapkan pada kondisi politik yang semakin diciutkan menjadi sekadar kalah – menang. Suara yang digalang dan diperebutkan bukan lagi sebagai aspirasi apalagi mandat rakyat. Manusia Indonesia dipandang hanya sebagai angka-angka, bukan sekelompok manusia yang berbudaya," katanya.

Hal senada disampaikan oleh Bambang Paningron, budayawan dari Yogyakarta. Paningron mengatakan bahwa perjuangan melawan gerakan penyempitan makna politik ini memang berat dan sangat mahal.

Bangsa ini, menurut Paningron sudah banjir politikus partai politik dan miskin politisi kebudayaan. Tidak mengherankan jika yang diperjuangkan adalah sekadar kekuasaan bukan eksistensi bangsa atau negara secara utuh.

"Segenap bangsa Indonesia perlu mengingat kembali betapa kaya dan besarnya negeri kita. Juga betapa beragamnya cara bangsa Indonesia mensyukuri karunia itu. Inilah saatnya menata kembali ruang sosial kita, membuka sekat-sekat, membersihkan kembali saluran-saluran kotor, dan menyiraminya dengan nafas kesejukan. Demi cinta bangsa Indonesia. Saya berharap saudara-saudara kita di seluruh pelosok negeri, perlu melakukan hal serupa, mencintai negeri dengan budaya yang dimiliki," pungkasnya. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya