Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MATA air jernih terlihat menyembur dari dasar kolam. Air yang keluar begitu jernih. Dasar kolam dengan kedalaman sekitar 1 meter pun terlihat jelas.
Untuk menjaga kebersihan air, dinding tembok sekitar 160 meter dibangun mengelilingi kolam, lengkap dengan papan larangan jangan melempar koin ke dalam kolam. Lokasinya yang berada di antara perbukitan dan keadaan alam yang masih asri membuat sumber mata air tersebut tidak pernah kering. “Di sini airnya stabil sepanjang tahun, tidak pernah banjir pada musim hujan dan tidak pernah kering pada musim kemarau,” jelas Dewa Nata, 49, pemandu wisata yang mengajak keliling ke mata air Tirta Empul di kawasan Pura Tirta Empul, Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Air dari kolam tersebut dialirkan ke kolam lain melalui pancuran-pancuran. Di kolam pancuran tersebutlah masyarakat dan wisatawan bisa merasakan kesegaran dan kejernihan Tirta Empul.
Ada yang sekadar membasuh muka, tetapi banyak pula yang menceburkan diri kedalamnya dengan mengenakan kain kamen. Ada kepercayaan, air pancuran memiliki khasiat, dari pembersihan diri, pelebur kutukan dan sumpah, hingga mengobati penyakit.
Asal-usul khasiat mata air Tirta Empul, dari cerita turun-temurun, semua itu atas peran Bhatara Indra ketika menghadapi raja Mayadenawa yang sangat sombong. Awalnya, ada sebuah mata air, atas ulah Mayadenawa berubah menjadi racun dan mambuat pasukan Bhatara Indra keracunan.
Bhatara Indra lalu menciptakan mata air yang bisa menyembuhkan racun para pasukannya. Mata air yang diciptakan Bhatara Indra yang kemudian disebut Tirta Empul.
Di sekitar kolam air terdapat Pura Tirta Empul. Tidak jauh dari situ dibangun Istana Kepresidenan Tampak Siring.
Dahulu kawasan mata air itu merupakan daerah hutan. Kemudian dibangun pura dan dijadikan tempat persembahyangan masyarakat Hindu.
Dewa Nata menyebut, masyarakat Bali sejak lama memang terbiasa menjaga alam, termasuk mata air. Selain sebagai sumber kehidupan, air juga digunakan dalam sarana peribadatan umat Hindu. “Di Bali dikenal dengan pemandian umumnya. Bahkan, setiap desa paling tidak ada satu pemandian umum,” kata Nata.
Sepanjang perjalanan pun terlihat bersih. Air tidak hanya dilestarikan sejak hulu dengan merawat alam, tetapi dijaga hingga hilir dengan menjaga kebersihan.
Kasubag Media Biro Humas dan Protokol Setda Prov Bali, Ketut Yadnya Winarta ditemui di kantornya, kemarin, mengatakan, adat di Bali harus dijaga karena sangat berhubungan dengan sektor pariwisata. “Kalau budaya hilang, itu akan memengaruhi pariwisata sebab Bali dikenal dengan adat, tradisi, seni, budaya, dan agama,” kata dia.
Pemprov Bali memberikan perhatian khusus terkait dengan pelestarian adat Bali. Setiap tahun digelontorkan Rp250 juta untuk desa adat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved