Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
PENGOPTIMALAN pangan lokal dalam program diversifikasi pangan belum maksimal. Penyebabnya ialah penguatan pangan lokal masih dalam tataran seremonial. Seperti apa yang dimaksud seremonial ini? Berikut petikan wawancara wartawan Media Indonesia, Widjajadi dengan Bupati Wonogiri, Joko Sutopo di pendopo kabupaten, pada Jumat (19/10).
Bagaimana pemkab mendorong diversifikasi pangan?
Jika boleh bicara fair, yang disebut sebagai program diversifikasi pangan lokal atau keanekaragaman pangan lokal itu hanyalah teori. Cuma seolah-olah. Saya tidak ingin terjebak pada tataran substitusi kamuflase seperti itu. Dominasi masyarakat kita tetap beras. Selain mudah dicari dan praktis, konsep masyarakat, makan itu ya menyantap nasi. Pandangan kami ini bukan berarti Pemkab Wonogiri tidak bersedia melaksanakan program yang diluncurkan dari atas. Namun, itu ya, sekadar tataran seremonial. Ya seolah-olah, tidak riil. Menurut saya, perlu ada evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif.
Program dari pusat ini apa perlu dievaluasi?
Diversifikasi pangan atau keanekaragaman pangan lokal itu, ya, dimulai mengedepankan bagaimana merubah mindset petani. Terutama merubah pola tanam petani. Selama ini, di daerah penghasil padi sering polanya, yaitu ‘padi-padi dan pantun’ sehingga harus diubah secara konsisten padi-padi dan palawija atau agro pertanian. Termasuk guliran program subsidi bantuan bibit cabai dan bawang merah dari pemerintah pusat, pasti dikoneksikan. Kuota yang diwajibkan pun selalu berhasil baik. Namun, apakah itu sudah cukup? Sebab merubah mindset petani bukan hal mudah. Mengingat sudah menjadi rutinitas dan berjalan puluhan tahun, serta sudah menjadi habit.
Bagaimana program ketahanan pangan itu harus dijalankan?
Ya, harus ada keberanian berubah. Pemerintah betul-betul melakukan pengawalan dan kontrol sejak awal hingga pascapanen. Semua memang harus komprehensif jika berbicara soal tata kelola pertanian. Ini bukan sekadar teori, karena saya ini riil petani sejak sebelum masuk sistem.
Karena itu, semua harus terintegrasi sejak awal, mulai potensi, penyiapan lahan, mekanisasi pertanian, sistem pemupukan, perawatan, panen, hingga pascapanen, harus dalam kontrol pemerintah. Sejauh ini, ketika sudah memasuki panen dan bergulir pascapanen, pemerintah tidak bisa pegang kendali secara mutlak, atau hilang kontrol. Kebijakan HPP selalu kalah dengan tengkulak. Inilah yang membuat ketahanan pangan kita selalu dipermainkan. Bulog selaku lembaga penyerap dan stabilisasi pangan juga tidak mampu berkutik.
Selama ini barang pun bukan dari rakyat atau petani, tetapi dari tengkulak, yang mengisap semua padi petani, melalui sistem ijon, yang kemudian menjadi kerja sama dengan Bulog. Terus terang, jika berbicara soal pertanian, seperti Kabupaten Wonogiri ini selalu surplus. Tahun ini saja surplus mencapai 135 ribu ton. Namun, itu hanya data, sedangkan barang tidak diketahui, hilang. Semua itu karena kendali pemerintah yang lepas pascapanen. Semua dikuasai tengkulak atau bahasa kerennya para kapitalis. (N-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved