Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Dilarang Sekolah karena Beragama Marapu

Furqon Ulya Himawan/N-1
07/8/2018 03:00
Dilarang Sekolah karena Beragama Marapu
(MI/Furqon )

PULUHAN warga penghayat kepercayaan meriung di sebuah gazebo besar berukuran sekitar 8x8 meter. Sebagian mengenakan pakaian adat keagamaan seperti penghayat kepercayaan Marapu. Mereka membincang perihal diskriminasi yang mereka alami sampai sekarang, dari generasi ke generasi.

Mereka meriung di Desa Salamrejo, Kulon Progo, DIY, pada 25-31 Juli, saat mengikuti Festival Kearifan Lokal yang diselenggarakan Yayasan Satunama. Di situ mereka mengungkap diskriminasi yang dialami dan mencoba mencari solusi.

Nono Buni Kose, 43, pemeluk agama Marapu dari Sumba Barat, duduk di antara pemeluk agama kepercayaan lainnya mengungkapkan unek-uneknya. "Nama di KTP dan agama saya diganti," katanya.

Di KTP namanya menjadi Kornelis Bili. Agamanya tidak lagi Marapu. Katanya, saat membuat KTP, dia diceramahi bahwa Marapu bukanlah agama dan tidak diakui negara. Tapi Nano tetap meyakini Marapu ialah agama leluhurnya yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka.

Namun, Nono dihadapkan pada dilema. Sekolah tak mau menerima anak-anaknya kalau masih beragama Marapu. Padahal dia ingin anaknya mencicip pendidikan yang disediakan negara.

Di sisi lain, Nano ialah seorang rato atau pemuka agama Marapu yang harus meneruskan ajaran agama leluhurnya. "Setelah saya mengubah nama dan agama, anak-anak bisa sekolah," imbuhnya.

Jika dirunut, persoalannya sangatlah pelik. Nono harus terlebih dahulu mengurus catatan pernikahannya, akta kelahiran anaknya, KTP, dan mengubah agama. Pernikahan yang sah menurut agama Marapu tak diakui negara dan tidak tercatat. Padahal dia harus memiliki catatan kependudukan untuk mengurus KTP.

Semua warga penghayat kepercayaan agama Marapu mengaku mengalami hal serupa. Pombu Ngadu Homba, 53, seorang rato Marapu di Sumba Tengah, Mama Magidialla, 45, yang juga beragama Marapu, memberi kesaksian. Mama Magidialla pun akhirnya ikut mengubah agama agar anak-anaknya bisa bersekolah.

Diskriminasi ternyata juga menerpa warga pemeluk agama leluhur di Medan, Sumatra Utara. Arnold Purba, 50, terpaksa menganti agama dia dan anak-anaknya yang sebelumnya memeluk Ugamo Bango Batak (UBB). Selain penolakan masuk sekolah, anaknya juga ditolak bekerja.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya