Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BADAN Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri sekali lagi meminta masyarakat untuk lebih bijak mengelola air baku, terutama desa-desa di wilayah Baturetno dan Giritontro yang menurut catatan Stasiun Klimatologi Semarang disebut mengalami kekeringan ekstrem.
Dua daerah tersebut sudah dilanda hari tanpa hujan (HTH) selama 102 hari dan 98 hari hingga akhir Juli.
Menurut Kepala BPBD Wonogiri Bambang Haryanto, hasil monitoring terkini Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan, dari peta distribusi curah hujan dasarian III bulan Juli, peta prakiraan probabilistik dasarian I Agustus 2018 dan peta prakiraan deterministik dasarian I Agustus dasarian 1 September Provinsi Jawa Tengah, Batureno, kabupaten Wonogiri menempati rangking kedua tidak ada hujan selama 102 hari. Rangking pertama adalah wilayah Bangsri kabupaten Jepara yang mengalami HTH selama 113 hari.
"Dan rangking tiga juga ditempati Wonogiri, tepatnya di wilayah kecamatan Giritontro yang tidak hujan selama 98 hari. Jika tidak diwaspadai, dikhawatirkan bisa memunculkan bencana kekeringan. Karena itu masyarakat harus betul betul hemat air. Potensi air sekecil apa pun, harus dirawat atau dikelola sebaik mungkin, sebagai upaya menghindari bencana kekeringan," imbuh dia kepada Media Indonesia, Kamis (2/8).
Stasiun Klimatologi Semarang tidak hanya merilis tentang kemarau ekstrem yang terjadi di Jepara (Bangsri), Baturetno dan Giritontro kabupaten Wonogiri, tetapi juga menginformasikan ratusan kecamatan di wilayah Jawa Tengah yang mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari.
Dari catatan itu, sejumlah wilayah di Wonogiri seperti Ngadirojo, Selogiri, Girimarto dan Klumpit termasuk di dalamnya yang mengalami HTH lebih dari 60 hari tidak hujan.
Bambang Haryanto telah membuat laporan kepada Bupati Wonogiri Joko Sutopo untuk meningkatkan koordinasi dengan sejumlah instansi terkait, terutama dengan camat dan kepala desa, untuk bersama melakukan pantauan di lapangan. Terutama menyangkut kebutuhan air warga, mengingat krisis air bersih di wilayah selatan selalu terjadi saat musim kemarau datang.
Penyikapan Pemkab yang solusi permanen dengan pembuatan embung dan juga pembangunan instalasi air, meski sudah sangat bermakna untuk mengatasi kekeringan di sektor pertanian dan juga kebutuhan air baku bagi warga di wilayah selatan, belumlah maksimal.
Jauh hari Bupati Joko Sutopo mengatakan kepada Media Indonesia, bahwa diperlukan daya upaya yang luar biasa untuk mengatasi krisis air di wilayah selatan yang luas, dengan topografi bergunung-gunung.
Sejauh catatan Media Indonesia, bahwa puluhan desa di wilayah Wonogiri selatan, puluhan ribu KK selalu harus menguras dana yang sangat besar untuk mendapatkan air bersih setiap berlangsung kemarau panjang. Dari monitoring Stasiun Klimatologi Semarang, diperkirakan puncak kemarau sudah akan terjadi pada Agustus ini.
"Jadi sekali lagi, warga di wilayah selatan harus semakin menghemat pemanfaatan air," imbuh Bambang Haryanto yang pada beberapa pekan belakangan ini juga mengerahkan relawan untuk memantau ombak tinggi di laut selatan wilayah Paranggupito.
Pada bagian lain, BPBD Wonogiri juga tidak henti-hentinya menggalakkan informasi tentang ancaman kebakaran di musim kemarau yang sangat ekstrem ini. Khususnya bagi masyarakat pengelola hutan rakyat dan juga masyarakat pada umumnya.
"Pada musim kering, apalagi musim kering ekstrem, angin begitu kencang, sehingga jika warga lalai, akibatnya akan parah. Sudah banyak kasus kebakaran lahan hutan rakyat, sebagai akibat kelalaian warga. Ketika muncul titik api tidak segera memadamkan, dan ketika baru besar baru bergerak dan minta tolong BPBD," tegas Bambang Haryanto sekali lagi. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved