Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Perda, Solusi Diskriminasi Tanah di DIY

Golda Eksa
25/2/2018 07:49
Perda, Solusi Diskriminasi Tanah di DIY
(Majelis Hakim saat membacakan amar putusan sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, Selasa (20/2/2018)---MI/Furqon Ulya Himawan)

PEMERINTAH Kota Yogyakarta dan DPRD setempat diminta membuat peraturan daerah (perda) karena surat Instruksi Wagub Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tentang Penyeragaman Kebijakan Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI nonpribumi dinilai sudah tidak relevan lagi.

Hal ini dikemukakan pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada Nur Hasan Ismail dan pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Ni’matul Huda kepada Media Indonesia secara terpisah, kemarin (Sabtu, 24/2).

“Solusinya keputusan politik lokal. Pemerintah kota dan DPRD membuat perda. Ya, kalau Instruksi Wagub DIY No K.898/I/A/1975 itu sudah tidak cocok silakan buat perda agar tidak terus dipersoalkan,” kata Nur Hasan.

Nur Hasan menambahkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agra­ria) Pasal 11 ayat (2) menjabarkan bahwa tidak tertutup kemungkin­an ada perbedaan, baik di satu wilayah maupun berdasarkan kepentingan tertentu.

Pakar hukum tata negara UII, Ni’matul Huda, juga menyarankan untuk mengubah instruksi diskriminatif itu menjadi perda agar WNI peranakan Tionghoa dapat memperoleh haknya. Ni’matul beralasan dengan membuat perda, WNI peranakan Tionghoa dapat mengajukan uji materi kepada MA.

Lha, kalau sekarang dibawa ke MA ditolak karena bukan peraturan perundang-undangan. Kalau perda kan menjadi peraturan perundang-undangan, kecuali Pemprov DIY memiliki iktikad baik untuk menjalankan pemerintahan demokratis dan tidak diskriminatif,” ujar Ni’matul.

Konteks historis
Guru Besar Hukum Tata Negara UII itu menambahkan instruksi wakil gubernur itu semestinya dibaca dalam konteks historis penerbitannya. Kalau bersandar pada UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY tidak ada dasar yang membolehkan kepala daerah melakukan diskriminasi.

Pada Selasa (20/2) majelis hakim di PN Kota Yogyakarta yang dipimpin Cokro Hendro Mukti memutuskan Gubernur DIY dan Kepala BPN DIY tidak berbuat melawan hukum meskipun memberlakukan Instruksi No: K.898/I/A/1975 (Media Indonesia, 24/2).

Berdasarkan fakta di persidangan, lanjut hakim anggota Sri Harsiwi, ­Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY itu pun tidak bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Majelis menilai pemberlakukan instruksi itu sesuai keistimewaan ­Yogyakarta di bidang pertanahan.

Oleh karena itu, majelis menolak gugatan Handoko kepada Gubernur DIY dan Kepala BPN DIY karena dianggap melawan hukum. Handoko menilai dirinya sebagai warga peranakan Tionghoa didiskriminasi dengan adanya instruksi itu karena tidak boleh memiliki hak milik atas tanah. “Keputusan ini semakin mengukuhkan Yogyakarta sebagai kota intoleran.”

Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengakui pihaknya pernah melakukan pemantauan terkait instruksi kepemilikan tanah di DIY. Komnas HAM sempat mengeluarkan rekomendasi yang intinya melarang adanya kebijakan bersifat diskriminatif.

Sandrayati memastikan Komnas HAM periode saat ini tetap menyoroti persoalan tersebut dan akan membahasnya dalam rapat paripurna. “Di negara hukum semua peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi di atasnya. Artinya, keistimewaan itu tidak boleh inkonstitusional, baik berdasarkan suku, agama, maupun ras.” (FU/Ant/X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya