Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Cabut Diskriminasi soal Tanah di DIY

Astri Novaria
24/2/2018 13:15
Cabut Diskriminasi soal Tanah di DIY
(MI/Rommy Pujianto)

PEMERINTAH didesak mencabut semua peraturan yang bertentangan dengan konstitusi, tak terkecuali surat instruksi Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tentang larangan kepemilikan hak atas tanah bagi warga nonpribumi di DIY.

Demikian pernyataan Ketua Setara Institute Hendardi kepada Media Indonesia, kemarin, terkait dengan putusan Majelis Hakim PN Yogyakarta yang menolak gugatan atas surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 itu, Selasa (20/2).

"Kekhawatiran timbulnya kesenjangan bagi si miskin bukan terletak pada pembatasan pribumi dan nonpribumi atas tanah, tetapi kesungguhan dan keterampilan mengadministrasi keadilan sosial. Apalagi faktanya, elite pribumi pun memiliki potensi sama yang bisa menimbulkan kesenjangan atas kepemilikan tanah," kata Hendardi.

Pada Selasa (20/2), Majelis Hakim PN Yogyakarta yang diketuai Cokro Hendro Mukti memutuskan Gubernur DIY dan Kepala BPN DIY tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Hakim anggota Sri Harsiwi menyatakan instruksi wakil kepala daerah adalah peraturan kebijakan, bukan perundang-undangan.

"Maka tidak dapat dilakukan pembatasan dan pengujian dengan perundangan lebih tinggi karena tidak ada dasar perundangan yang menjadi dasar."

Majelis hakim menolak gugatan Handoko kepada tergugat 1 Gubernur DIY dan tergugat 2 Kepala BPN DIY karena dianggap melawan hukum.

Sebaliknya, Handoko berkeyakinan instruksi yang terbit 5 Maret 1975 itu melawan hukum karena melanggar Inpres No 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Handoko menilai dirinya sebagai warga negara peranakan Tionghoa didiskriminasi.

"Ini bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) UU No 5/1960 tentang Per-aturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi 'Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik'," ujar Handoko.

Hendardi menjelaskan, jika mengacu pada perluasan makna warga negara dalam UUD 1945, penyelenggara negara seharusnya melakukan harmonisasi regulasi dan kebijakan bahwa definisi warga negara tidak lagi mengacu pada asal usul etnik.

"Perspektif ini berlaku di Yogya memang dimungkinkan karena faktor keistimewaan. Isu kepemilikan tanah personal menjadi tantangan serius bagi pemerintah. Kesenjang-an dan penguasaan sumber daya tanah dan bumi justru muncul karena pembatasan penguasaan tanah bagi korporasi yang tanpa batas. Meskipun filosofi pembatasan itu dianut oleh UU Pokok Agraria, pemerintah melanggarnya melalui regulasi teknis. Itu sumber ketidakadilan sebenarnya," ungkap Hendardi.

Kejanggalan

Direktur Indonesian Court Monitoring Tri Wahyu menilai ada kejanggalan dalam putusan PN Yogyakarta. Menurut Tri, majelis tidak menguraikan kaitan Instruksi Wakil Gubernur DIY No K.898/I/A/1975 dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

"Majelis merujuk UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang melarang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY mendiskriminasi warga negara. Kalau hakim merujuk pada kewenangan pertanahan di Pasal 32 dan 33 UU Keistimewaan DIY, itu mengatur hak milik atas tanah kesultanan dan tanah Pakualaman, bukan hak milik warga negara," tandas Tri.
(FU/RO/Ant/X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya