Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
RAWA lebak selama ini dinilai tidak tepat untuk menjadi areal tanam untuk varietas padi. Hal itu disebut-sebut karena batas ketinggian air melebihi areal lainnya dan dapat menyebabkan gagal panen akibat areal lahan tertutup air jika intensitas hujan lebat.
Kalaupun dapat ditanam padi, biasanya hanya satu kali masa tanam saja. Untuk itu, Kementerian Pertanian telah memulai inovasi baru dimana menyulap areal rawa lebak menjadi areal tanam padi dengan masa tanam dua hingga tiga kali. Seperti di Sumatra Selatan, yang dipilih sebagai role model Kementerian Pertanian.
Di Sumsel, khususnya di Ogan Ilir ada sekitar 200 hektare lahan sub optimal di mana terdiri dari rawa lebak yang kini menjadi area tanam padi dan mampu memiliki dua hingga tiga kali masa tanam. Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman mengatakan, pihaknya tahun lalu sudah pernah datang ke lokasi tersebut dan hanya menjumpai adanya genangan air di lokasi tersebut.
Hal itu dikarenakan setiap musim hujan, ketinggian debit air di lokasi itu sekitar satu meter dan menenggelamkan area persawahan. "Tahun lalu kami lihat genangan lebak. Luasan area rawa lebak sekitar 500 ribu hektare di Sumsel. Kami minta kepada Bupati dan Gubernur untuk menghidupkan area ini," ungkap dia di sela panen padi di Area Rawa Lebak di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Kamis (12/10).
Andi menerangkan, secara nasional untuk data luasan rawa lebak dan area pasang surut sekitar 20 juta hektare. "Lahan ini tidur, petani tidur, semua tidur, pendapatan tidak ada. Biasanya kalau Oktober masuk masa paceklik, tidak ada aktivitas pertanian. Tapi sekarang bisa dilihat, disini sedang dalam masa tanam kedua dan ada juga yang panen," kata dia.
Hal itu dilakukan karena sudah dilakukan kanalisasi sehingga banjir tidak masuk ke areal persawahan. Apabila banjir, maka pompa menyedot air dan membuang air ke luar areal persawahan. Namun sebaliknya, jika musim kering maka pompa akan menarik atau menyedot air ke dalam areal persawahan.
"Semua kita kanalisasi jadi banjir tidak bisa masuk. Ini teknologi baru. Pompa kita pasang di sudut-sudut kanalisasi. Di sini bisa sampai 3 kali tanam. Kami minta dilanjutkan agar 500 ribu hektare potensi di Sumsel bisa menggunakan teknologi ini," kata dia.
Andi menyebutkan hasil dari penerapan teknologi itu akan mampu meningkatkan
pendapatan negara dan juga mensejahterakan petani. Bahkan tidak menutup kemungkinan Sumsel akan menjadi wilayah penghasil beras terbanyak nomor tiga di Indonesia.
Bukan hanya di Sumsel, teknologi ini juga dilakukan di enam provinsi di Indonesia lainnya. Seperti di Jambi, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. "Daerah yang lain akan dikembangkan. Kita jadikan ini pilot project untuk melihat hasil optimal dari teknologi ini," tutur dia.
Terkait dengan stok beras, Andi mengungkapkan saat ini di Bulog tersedia 1,25 juta ton dimana stok cukup hingga 7-8 bulan kedepan atau Mei 2018 mendatang. Pada bulan Januari mendatang akan masuk musim panen, artinya stok akan bertambah kembali sebab Oktober ini para petani sudah melakukan masa tanam.
"Beras aman, produksi aman, stok aman. Di Jakarta beberapa waktu lalu, kami mengecek kondisi beras, dan ternyata stoknya melimpah," terang Andi.
Dalam kegiatan panen padi di Ogan Ilir itu, Andi menyerahkan bantuan seperti pompa 10 unit, alat panen (combain harvester) 2 unit kepada masyarakat di daerah tersebut. Sementara itu, Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian RI, Pending Dadih Permana mengatakan, saat ini Kementerian Pertanian tengah mengembangkan tata air mikro pertanian.
"Kita bertekad untuk mengembangkan pengelolaan tata air di area rawa lebak dan pasang surut. "Uji coba dan upaya kita membuahkan hasil. Semula ini adalah area banjir saat musim hujan, hanya terlihat genangan air. Namun kini bisa dilihat, area ini tengah memasuki masa panen," ucapnya.
Ia menyebut, optimalisasi lahan di lahan sub optimal dinilai berhasil. Sayang, tantangan besar karena sebagian masyarakat tidak ingin menggunakan teknologi ini. Diakuinya, masyarakat masih mengira dengan adanya teknologi ini akan mengurangi pendapatan dan produksi di mana harus membangun kanalisasi yang diambil dari area persawahan mereka.
"Sekarang kita ingin mengubah mainset masyarakat. Kami ingin secara sadar
masyarakat mau mengkonsolidasikan lahannya. Sebenarnya ini potensi besar
bagi masyarakat itu sendiri. Karenanya mengubah mainset ini dilakukan secara pelan-pelan," tandasnya. (OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved