Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
TEPAT pukul enam pagi, ratusan orang menyemuti Pasar Papringan di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (14/5). Selain penduduk lokal, pengunjung pasar juga datang dari berbagai daerah dan luar negeri. Pasar ini memang bukan pasar biasa. Di sini, pengunjung harus bertransaksi dengan mata uang yang terbuat dari bambu atau pring. Pasar Papringan cuma digelar dua kali dalam sebulan, yakni tiap hari pasaran Minggu Wage dan Minggu Pon.
“Satu pring setara dengan Rp2.000. Jadi pengunjung hanya perlu membayar makanan atau barang dengan harga satu pring, dua pring, tiga pring, dan seterusnya,” tutur Rofid, 19, seorang panitia Pasar Papringan, Rabu (17/5). Di tempat ini, Anda bisa menikmati udara segar di antara embusan angin dingin di sela papringan atau rumpun-rumpun bambu sambil menikmati kuliner khas seperti dawet anget, dawet ayu, sego gono jagung, dan camilan nglemeng yang terbuat dari campuran ubi dan gula merah.
Ada juga pengunjung yang memilih menikmati wedang kopi panas atau sekadar berbelanja sayuran dan hasil bumi lainnya. Sebagian lain, berswafoto memamerkan keunikan pasar di sela-sela rumpun bambu, sembari menyusuri jalanan dari batu trasah. Sementara itu, anak-anak kecil riang menikmati permainan tradisional seperti gasing, egrang, dan ayunan bambu yang tersedia di area pasar.
Semua yang ada di pasar dikelola generasi pemuda Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, yang tergabung dalam Komunitas Mata Air. Komunitas ini juga melibatkan warga dusun. “Mulanya, lokasi Pasar Papringan merupakan lokasi pembuangan sampah desa,” ungkap Imam Abdul Rofiq, 27, Ketua Komunitas Mata Air. Pasar Papringan menempati areal rumpun bambu seluas 2.500 meter persegi dari lima pemilik lahan. Sedikitnya ada 42 pelapak yang berjualan di sana dan semuanya berasal dari warga sekitar.
Salah satu turis dari Bangkok, Thailand, Teerapoj Teeropas, 27, pun mengaku amat terkesan dengan Pasar Papringan. “Di Bangkok tidak ada seperti ini karena bambu-bambu sudah ditebang untuk pembangunan, berbeda dengan suasana perdesaan di sini,” tutur Teerapoj. Ide Pasar Papringan, diakui Singgih, merupakan salah satu upayanya dalam gerakan Kembali ke Desa. Papringan berkesan sebagai rumah orang miskin yang terbuat dari gedek atau bambu. “Padahal papringan adalah penghasil oksigen yang luar biasa. Ini harta karun yang ada di sekitar kita. Saya ingin masyarakat desa kembali bangga dengan halamannya yang penuh rumpun bambu,” ujar Singgih. (Tosiani/N-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved