Skandal Pilkada Terulang, Ada Apa dengan KPUD Bengkulu
MI/Puput Mutiara
29/12/2015 00:00
(ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
Sampai dengan rabu lalu (23/12), MK telah menerima 145 permohonan sengketa pilkada dimana terdiri dari 139 pilkada Kabupaten/Kota dan 6 pilkada Provinsi. Sesuai dengan kewenangan pada UU Pilkada, maka MK pada kali ini hanya berwenang untuk memutus Perselisihan Hasil Pilkada (PHP) dengan syarat utama adanya selisih suara dalam permohonan sengketa yang diajukan. Pada kasus pilkada Bengkulu Selatan 2015 misalnya, perselisihan kali ini lebih pada permasalahan yang sama dengan pilkada 2008 lalu, dimana sudah diputuskan oleh MK melalui putusan tanggal 8 Januari 2009.
MK ketika itu menilai bahwa telah terjadi kelalalian atau kesengajaan oleh KPUD Bengkulu Selatan bahwa persyaratan telah diabaikan, sehingga pihak terkait ketika itu yakni calon Bupati Dhirwan Mahmud lolos sebagai kandidat meski berstatus mantan narapidana dengan masa hukuman lebih dari 5 tahun. Ditengarai hal yang sama juga terjadi kali ini dalam sengketa pilkada Bengkulu Selatan, Dhirwan Mahmud yang memenangi pilkada 2015 kembali digugat status hukum nya yang masih sebagai narapidana pada kasus yang berbeda oleh Cabup lainnya Reskan Effendi.
Menanggapi hal tersebut pengamat politik Point Indonesia Karel Susetyo menyatakan bahwa, Kesulitan terbesar dalam penyelesaian sengketa pilkada kali ini adalah adanya paradigma yang sempit dari MK, bahwa perselisihan hasil pilkada hanya semata berdasarkan pada hitungan suara belaka. Sehingga tanpa adanya syarat selisih suara, MK bisa engan mudah menolak permohonan sengketa. Oleh karena itu, sudah sewajibnya bagi MK untuk bekerja secara professional dan mendetil dalam memeriksa setiap permohonan sengketa, sehingga dapat menyentuh permasalahan subtantif dari setiap sengketa.
Apalagi lanjut Karel, MK bisa saja mengabaikan syarat selisih suara dan lebih mendorong pemeriksaan secara detil atas semua alat bukti dan dalil yang dimohonkan. Karena sangat dimungkinkan bahwa kedua hal tersebut memiliki hubungan langsung terhadap adanya potensi kecurangan pilkada secara keseluruhan. Kasus Bengkulu Selatan bisa menjadi contoh, bagaimana sengketa disebabkan oleh keabsahan status Cabup Dhirwan dalam mengikuti pilkada kali ini. Jelas MK perlu melakukan pemeriksaan atas bagaimana KPUD menjalankan tugasnya dalam melakukan verifikasi atas semua bakal cabup Bengkulu Selatan.
Syarat selisih suara dalam perselisihan hasil pilkada di MK jelas hanya sebuah fenomena gunung es belaka. Dimana hanya puncak nya saja yang terlihat secara jelas, sedang permasalahan sesungguhnya tak tampak dalam lautan. Sehingga sudah sepatutnya bagi MK untuk mendalami sengketa pilkada secara menyeluruh dan menyentuh pada substansinya, dimana pada akhirnya mampu menguak adanya potensi kecurangan pilkada yang sesungguhnya. Dengan demikian maka hak keadilan dari para pemohon sengketa pilkada dapat terpenuhi secara utuh, tutup Karel. (P-2)