PRESIDEN didesak mengambil keputusan yang menjamin pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Pasalnya, hasil jajak pendapat Sigma Research menyebut 75,3% masyarakat Indonesia mendukung pembangunan PLTN untuk mengatasi krisis listrik. "Dilematis, karena PLTN memang dijadikan pilihan terakhir oleh pemerintah, sementara kebutuhan pasokan listrik kita sudah semakin mendesak," ujar Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.
Rencana pembangunan PLTN dengan kapasitas 5.000 megawatt (Mw), lanjutnya, hingga kini masih mengalami stagnasi. Dewan Energi Nasional (DEN) memprediksi kebutuhan energi di 2025 mencapai 145 gigawatt (Gw) atau sedikitnya 115 Gw. Di sisi lain, sumber energi baru terbarukan (EBT) diasumsikan hanya mampu memenuhi kebutuhan 25 Gw. Menurut Djarot, hasil jajak pendapat yang menunjukkan peningkatan dukungan masyarakat itu diharapkan bisa mendorong pemerintah untuk tak terlalu lama menunda pembangunan PLTN. Dengan demikian dapat berkontribusi menghasilkan daya listrik besar untuk menjamin pemenuhan dan kestabilan pasokan listrik secara nasional.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe mengatakan kesiapan sumber daya manusia (SDM) sudah bisa dipenuhi kendati belum ada keputusan dari Presiden. Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan hasil sidang anggota DEN terakhir di Banda Aceh menyepakati bahwa PLTN belum dapat berkontribusi pada pemenuhan bauran energi nasional yakni 23% dari energi baru terbarukan pada 2025.
"Meski PLTN belum dapat berkontribusi, upaya-upaya persiapan untuk membangun PLTN tetap perlu terus dijalankan. Termasuk di dalamnya kesiapan masyarakat menerima kehadir-an PLTN. Kesiapan masyarakat menerima kehadiran PLTN termasuk kriteria yang dijadikan syarat oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA)," tutur Rida.