TEMUAN terkait dugaan konspirasi pengambilalihan saham Bank Bali diklarifikasi ke mantan Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli.
Seorang rekan membantu memfasilitasi pertemuan Jonggi Manihuruk dari Media Indonesia dengan Rudy Ramli pada Kamis (12/11) di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.
Berikut petikan wawancaranya.
Lama tidak pernah muncul ke publik, apa kegiatan Anda sekarang?
Sekarang saya menjalankan perusahaan PT Alto Network.
Itu satu-satunya perusahaan saya yang tersisa setelah kasus Bank Bali.
Anda menjabat sebagai apa di PT Alto Network?
Saya komisaris.
Anda masih ingat kasus Bank Bali?
Tentu.
Bagaimana saya bisa melupakan itu?
Kasus Bank Bali heboh karena cessie. Apa ada konspirasi di skandal Bank Bali?
Mengapa anda berpikir seperti itu?
Media Indonesia me-review skandal Bank Bali. Ada indikasi konspirasi selain cessie. Benarkah demikian?
Jujur.
Konspirasi itu ada dan nyata.
Konspirasi apa itu?
Konspirasi yang dibuat serapi mungkin untuk mengambil alih kepemilikan Bank Bali. Para pelaku pintar.
Mereka mengatakan pengambilalihan Bank Bali secara hukum sah, tapi itu perampasan.
Merampas?
Awalnya saya tidak menyadari.
Ketika kami diminta mengucurkan pinjaman ke pasar uang antarbank untuk membantu bank-bank yang kesulitan likuiditas, saya belum menyadari adanya konspirasi.
Ketika kami mulai sulit menagih pembayaran pinjaman dari BDNI, BUN, dan Bank Tiara, sadarlah kami telah dikerjai.
Kami berani memberikan pinjaman karena pemerintah menjamin. Ada yang tidak beres dengan komitmen pemerintah kepada Bank Bali.
Siapa yang mempersulit Anda menagih pinjaman?
Pejabat di Bank Indonesia dan BPPN termasuk Kepala BPPN Glen Yusuf.
Saya semakin yakin setelah bertemu Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang saat itu menjabat Presiden RI.
Saya dipanggil Gus Dur ke istana dan berbicara dengan beliau selama 2 jam.
Gus Dur bilang ke saya, Pak Rudy, apakah Bapak mengetahui kejadian sesungguhnya yang menimpa Bank Bali?
Saya jawab, saya tidak tahu Gus.
Lalu Gus Dur melanjutkan, Pak Rudy, kebetulan saya ini presiden.
Semua aparat intelijen kedudukannya berada di bawah kewenangan saya.
Sebelum bertemu dengan Pak Rudy, saya terlebih dahulu meminta laporan kepada semua aparat intelijen mengenai kejadian Bank Bali.
Apa laporan intelijen yang diterima Gus Dur?
Gus Dur bilang, setelah papa Pak Rudy meninggal dunia, Bank Bali mulai diincar (Djaja Ramli meninggal dunia 22 Juli 1996).
Pak Rudy kan pernah beberapa kali ketemu mereka.
Ketika Anda menolak tawaran mereka, sesungguhnya Anda telah menolak tawaran dari sebuah kelompok besar mereka.
Kelompok mereka marah besar.
Itu yang disampaikan Gus Dur.
Siapa mereka itu?
Saya kurang bukti tentang apa yang dikatakan Gus Dur.
Namun, memang beberapa kali saya bertemu orang-orang peminat saham Bank Bali.
Kapan Anda bertemu mereka?
Awal Februari 1997, saya mendapat undangan dari seorang eksekutif terkenal yang mewakili sebuah kelompok usaha besar.
Saya sebut inisialnya saja AN.
Kelompok usaha mereka juga memiliki bisnis pesat di bidang perbankan.
Dalam pertemuan, tanpa berpanjang kata, AN secara langsung mengatakan kelompok bisnisnya tertarik membeli saham Bank Bali.
Apa tanggapan Anda?
Saya berjanji kepada AN akan mempertimbangkan dan minta waktu untuk membicarakan dengan manajemen Bank Bali dan keluarga besar Ramli.
Kami menggelar pertemuan yang dihadiri seluruh top management Bank Bali dan juga para pemegang saham pengendali.
Diputuskan merespons tawaran AN.
Manajemen Bank Bali sepakat mengkaji terlebih dahulu dengan mengundang perusahaan investment banker, SBC Warburg.
Apa saran SBC Warburg?
Hasil kajian SBC Warburg menyebutkan tidak optimal menjual Bank Bali pada saat itu.
SBC Warburg merekomendasikan Bank Bali dilepas dua hingga tiga tahun ke depan setelah rights issue.
Menurut kajian SBC Warburg, jika dilepas dua atau tiga tahun ke depan, diprediksi harga jual Bank Bali jauh akan lebih bagus.
Hal itu juga yang saya sampaikan kepada AN untuk menolak secara halus tawarannya.
Setelah AN, siapa lagi?
Di awal April 1997 atau sekitar satu bulan seusai komunikasi terakhir dengan AN, kerabat dekat AN mengajak saya bertemu.
Inisialnya JR.
Dia pengusaha muda sekaligus putra mahkota seorang taipan.
Kami bertemu empat mata di sebuah kamar di Hotel Aryaduta, Jakarta.
JR langsung bicara ke pokok persoalan mengutarakan niatnya membeli saham Bank Bali.
Persis seperti yang diungkapkan AN sebulan sebelumnya. Sikap saya tetap, saya menolak secara halus.
Selain mereka, apakah ada pihak lain?
Terakhir pada September 1997.
Beberapa saat setelah krisis moneter melanda Indonesia, saya menghadiri World Bank Group-International Monetary Fund (IMF) Annual Meeting di Hong Kong.
Seusai menghadiri acara itu, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, entah kebetulan atau tidak, saya satu pesawat dengan direktur utama perusahaan finansial berinisial ST.
Setelah pesawat tinggal landas, ST menghampiri saya dan duduk di sebelah saya.
Dia mengutarakan niat membeli Bank Bali, tapi saya tolak secara halus.
Sebelum menyandang status bank take over, BI meminta Bank Bali menggandeng investor, siapa dia?
Kami menunjuk GE Capital sebagai partner, tapi pemerintah menolaknya. Pada 15 April 1999, saya menemui Wakil Ketua BPPN Farid Haryanto.
Apa respons Farid?
Dia bilang tidak suka dengan GE Capital.
Farid langsung menyebut nama Standard Chartered Bank (SCB).
Kenapa kami dipaksa dengan SCB? Setelah SCB masuk, tak lama kemudian BI memutuskan Bank Bali masuk bank take over.
Kapan itu?
Tanggal 23 Juli 1999 menjadi hari paling kelabu bagi direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham pengendali Bank Bali.
Itu hari yang sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan.
Sesuai dengan telepon sehari sebelumnya, Firman Soetjahja (Wakil Dirut Bank Bali) mewakili manajemen memenuhi undangan BI.
Deputi Gubernur BI Subarjo Joyosumarto yang memimpin rapat sambil tertawa menyatakan dengan enteng, ada sebuah kabar gembira.
Bank anda telah di-BTO.
Sekarang Bank Bali sudah dikuasai pihak lain. Apa yang akan Anda lakukan?
Saya akan terus berjuang.
Setidaknya saya akan mengungkap proses pengambilalihan Bank Bali yang sarat dengan moral hazard.
Itu akan bermanfaat memberikan edukasi untuk membangun perbankan Indonesia ke depan. (T-1)