Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
ANGGOTA Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Ahmad Nawawi menuding sekretaris dewan (sekwan) sering tidak membayar honor para akademisi yang telah ditugaskan menyusun draf rancangan peraturan daerah (raperda). Akibatnya, DPRD dan Pemprov DKI sering telat untuk memulai pembahasan raperda karena naskah rancangan tidak pernah rampung.
“Untuk menyusun draf raperda tersebut ada anggarannya, sekitar Rp100 juta per raperda. Angka ini belum termasuk biaya jasa kajian akademis. Uang ini yang sering tidak dibayarkan sekwan,” ujar Ahmad, kemarin.
Bahkan dalam sebuah rapat DPRD, sambungnya, para penyusun draf raperda yang terdiri dari para akademisi itu pernah mengutarakan langsung persoalan itu. “Terus terang kami sampai malu mendengarnya. Para penyusun draf sampai mengadu di rapat dan bilang tak dibayar. Ternyata yang baru dibayarkan cuma jasa kajian akademisnya saja,” imbuh Ahmad.
Padahal, lanjutnya, biaya penyusunan draf raperda telah dianggarkan dalam APBD setiap tahunnya.
Untuk 2017 ini, 32 raperda sudah masuk program legislasi daerah (prolegda), 13 di antaranya adalah raperda yang tidak rampung dibahas pada 2016.
“Banyak sekali utang legislasi kita karena draf raperda tak pernah rampung. Ini memalukan,” tegas Ahmad.
Ia mencontohkan raperda di bidang pendidikan yang membahas dikotomi sekolah sudah molor sejak dua tahun lalu.
“Itu sudah lama sekali tertahan. Sekarang kami menunggu jadwal dari sekwan agar raperda ini segera bisa dibahas dan diselesaikan,” imbuhnya.
Saat ditanyai soal tidak dibayarkannya biaya jasa penyusunan draf raperda tersebut, Sekretaris Dewan Muhammad Yuliadi enggan menjawabnya. Ia menyatakan lambatnya pembahasan sebuah rapeda sering kali disebabkan tidak lengkapnya naskah akademik, belum siapnya draf, dan minimnya usulan.
“Kalau sudah lengkap itu semua, baru bisa dibahas. Keterlambatan itu banyak disebabkan tidak ada tiga syarat itu,” terangnya.
Bermodal judul saja
Terkait dengan banyaknya utang legislasi, Ketua Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik mengatakan hal itu tak lepas dari perilaku satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang juga setengah-setengah dalam menyusun raperda. Raperda yang diajukan Pemprov DKI juga sering tak dilengkapi dengan kajian akademik.
“Kebanyakan begitu, banyak dokumen raperda tanpa naskah akademik, jadi kami kembalikan,” terangnya.
Dari 32 raperda yang akan dibahas pada tahun ini, 25 di antaranya usul inisiatif Pemprov DKI Jakarta.
Saat dihubungi di kesempatan berbeda, Direktur Komite Pemantau Legislatif Indonesia Syamsuddin Alimsyah menuturkan tata kelola penyusunan raperda saat ini mayoritas masih berbasis selera, bukan dari kebutuhan. Perilaku itu bisa dilihat dalam tiap rapat baleg untuk membahas prolegnas yang hanya bermodalkan judul raperda.
“Indikasinya sederhana, bisa dilihat saat pembentukan prolegda. Biasanya mereka hanya bermodalkan judul saja tanpa dilengkapi dokumen naskah akademik,” terangnya.
Tindakan itu, sebutnya, sudah menyalahi syarat prolegda yang tertuang dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved