Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Tes PCR Jadi Syarat Terbang, YLKI: Kebijakan Diskriminatif

Insi Nantika Jelita
24/10/2021 18:15
Tes PCR Jadi Syarat Terbang, YLKI: Kebijakan Diskriminatif
Ilustrasi - Petugas medis melakukan tes PCR kepada warga.(MI/Andri Widiyanto )

KETUA Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, kebijakan yang mewajibkan calon penumpang pesawat menunjukkan hasil tes PCR adalah kebijakan diskriminatif. Menurutnya, ketentuan ini memberatkan dan menyulitkan konsumen. 

"Kebijakan ini diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apa pun," tegasnya dalam keterangan yang dikutip Minggu (24/10).

Baca juga: Ini Sederet Upaya Pemprov DKI untuk Cegah Banjir

Tulus kemudian menuding, Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan kerap diakali oleh provider atau oknum dengan istilah PCR Ekspress, yang katanya harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Pemerintah sendiri menetapkan harga test PCR hingga Rp495 ribu per orang. 

"Ini karena tes PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," sebutnya tanpa menyebut detail berapa perbandingan tes covid-19 itu.

Di satu sisi, Ketua YLKI ini berberpandangan, jika kebijakan tersebut tidak bisa dibatalkan, minimal direvisi. Misalnya, waktu pemberlakukan PCR menjadi 3x24 jam, bukan 2x24 jam sebelum keberangkatan. 

"Hal tersebut mengingat di daerah lab PCR tidak semua bisa cepat. Opsi lain cukup tes antigen saja, tapi harus vaksin 2 kali. Dan turunkan juga HET PCR menjadi kisaran Rp200 ribuan," pintanya. 

Terpisah, Tim Advokasi Supremasi Hukum melalui perwakilannya Johan Imanuel menerangkan, polemik tarif tes covid-19 sudah muncul sejak tarif rapid test yang tidak seragam sejak tahun lalu. Dia mengungkap bahwa Seharusnya PCR itu menjadi tanggungan pemerintah, merujuk ke Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Dalam Pasal 82 UU tersebut disebutkan, pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana bersumber dari APBN, APBD atau bantuan masyarakat.

"Nah, PCR ini kan merupakan pelayanan kesehatan karena tanggap darurat mengingat status Indonesia saat ini masih mengalami Bencana Non Alam (Keppres 12/2020). Seyogyanya Pemerintah kali ini tanggung dong 100 persen pelayanan PCR untuk masyarakat," tutupnya. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik