Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
KEMACETAN lalu lintas di kota-kota besar membuat pemerintah setempat terus berupaya mendorong warganya agar menggunakan transportasi umum guna mengurangi volume kendaraan di jalan.
Sayangnya, upaya tersebut tidak maksimal sehingga warga masih enggan meninggalkan kendaraan pribadi mereka.
Selain armada transportasi harus nyaman, fasilitas penunjang seperti selter atau halte harus memadai.
Namun, keinginan masyarakat untuk mendapatkan itu belum terpenuhi.
Tengok saja di Kota Bogor atau kota yang belakangan mendapat 'predikat' Kota Sejuta Angkot.
Kondisi sejumlah halte khusus untuk menaikkan dan menurunkan penumpang bus Trans-Pakuan tidak layak, bahkan sebagian berubah fungsi menjadi warung kopi, terminal bayangan, 'garasi', hingga tempat tinggal penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
Siang itu seorang laki-laki yang akan menumpang bus Trans-Pakuan terlihat kesulitan saat akan menaikkan anaknya ke dalam bus di salah satu tempat pemberhentian bus yang berada di Jalan KS Tubun, kawasan Warung Jambu.
Tinggi tempat yang hanya berbentuk balok beton berukuran 70 x 80 cm itu tidak sama dengan lantai bus.
Dengan dibantu kondektur bus, ia harus mengangkat sang bocah dari lantai pemberhentian ke lantai bus yang jauh lebih tinggi.
Posisi beton persegi panjang yang miring sehingga satu sisinya diganjal batu membuat calon penumpang harus ekstra hati-hati saat akan naik bus.
Sejak dari lokasi keberangkatan bus di Bubulak, halte bus Trans-Pakuan memang hanya berbentuk tempat pijakan dari beton tanpa atap.
Beberapa halte yang bentuknya lebih mirip podium bagi juara lomba saat menerima trofi itu juga ada di sepanjang Jalan Baru.
Di sejumlah titik, bahkan beton tersebut hilang sehingga calon penumpang bisa menunggu di mana saja.
"Temboknya (beton pijakan penumpang) memang tidak ada, tapi penumpang masih bisa naik atau turun di sekitar situ (lokasi beton yang hilang)," kata kondektur bus Trans-Pakuan nomor 24 yang ditumpangi Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Selain di kawasan itu, belasan selter serupa ada di sepanjang jalur Bubulak-Cidangiang hingga Ciawi, di antaranya di seberang kampus Magister Manajemen IPB, di depan kawasan sejumlah factory outlet Lodaya di depan Agricorn, Tajur, dan Wangun.
Di beberapa titik yang baloknya masih tersedia, lokasinya digunakan untuk mengetem oleh sejumlah angkutan umum, seperti di halte yang terletak di Jalan Wangun.
Akibat halte terhalang kendaraan lain, penumpang bus Trans-Pakuan diturunkan di jalan.
"Aduh, kok jadi diturunin di tengah jalan begini, sih," keluh salah seorang penumpang bus.
Koordinator Lapangan/Operasional Bus Trans-Pakuan Arlan Yudi mengakui buruknya kondisi selter transportasi umum itu.
Kendati ada bangunan halte bus yang lebih bagus, itu mubazir karena titik pemberhentian dianggap tidak tepat atau terlalu jauh dari pusat aktivitas warga.
Halte-halte itu antara lain berada di sepanjang jalur Cidangiang-Ciawi.
Halte yang dibangun permanen dilengkapi atap dan dindingnya terbuat dari kaca itu jarang digunakan karena penumpang memaksa turun di lokasi lain yang dianggap tepat.
Pernah diperbaiki
Yang lebih memprihatinkan ialah halte bus Trans-Pakuan yang berada di depan eks Terminal Wangun.
Halte permanen berukuran 3 x 1,5 meter yang seharusnya mampu menampung lebih dari 10 calon penumpang itu kini beralih fungsi menjadi warung kopi.
Sementara itu, di luar halte berjajar sejumlah bus besar termasuk bus angkutan perbatasan terintegrasi bus Trans-Jakarta (APTB) dan angkutan kota yang memanfaatkan lokasi sebagai terminal bayangan.
Beberapa halte lainnya di jalur Cidangiang-Ciawi digunakan untuk mangkal PMKS hingga tempat tidur orang gila, di antaranya Halte PDAM, Sindangsari 1, dan Sindang Sari 2. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved