KEPALA Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti Peraturan Pemerintah (PP) No 18/2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau Daerah-Daerah Tertentu dengan menerbitkan peraturan Kepala BKPM (perka). Aturan itu menargetkan pengajuan keringanan pajak (tax allowance) dapat tuntas dalam 50 hari.
"Perka itu bagaimana prosesnya di menteri lain berapa hari, menteri pembina berapa hari, di menkeu berapa hari. Itu waktunya makanya kita membuat tidak boleh lebih dari 50 hari. Harus ada kepastian selanjutnya untuk investor," tegas Franky di sela Tropical Landscape Summit di Jakarta, kemarin,
Menurutnya, dalam pelaksanaan PP terdahulu, pengajuan tax allowance atau tax holiday bisa memakan waktu hingga dua tahun.
Franky menjabarkan, dalam peraturan yang sedang disusun, setelah permohonan diterima BKPM melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pusat, pengkajian permohonan akan dilakukan melalui pertemuan trilateral antara BKPM, Kementerian Keuangan, dan kementerian teknis. "Kami juga akan melibatkan kajian dari para pakar dan staf ahli di bidang masing-masing," tambah Franky.
PP No 18/2015 yang diterbitkan pada 6 April 2015 dan akan berlaku 30 hari mendatang menyebutkan fasilitas taxallowance bisa ditetapkan Menteri Keuangan jika telah mendapat usul Kepala BKPM..
Franky menambahkan, peran dari koordinasi saat ini berada di PTSP yang mencakup perwakilan semua kementerian. Ia berharap, dengan peran optimal dari para perwakilan tersebut, kementerian bersangkutan dapat langsung memberi keputusan bagi investor.
"Impak insentif tax allowance dan juga PTSP ini baru akan terlihat pada triwulan IV dan nilainya baru akan ada di awal tahun (depan). Sampai Juni, saya mau fokus Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura," pungkasnya.
Belum tahu Sebagian pelaku industri dalam negeri mengaku belum mendapat sosialisasi mengenai PP pengganti PP No 52/2011 itu. Namun, fasilitas insentif fiskal itu diharapkan berimbas positif terhadap daya saing.
"Kami tentu merespons baik," ujar Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Amkri) Soenoto kepada Media Indonesia saat dihubungi, kemarin.
Dengan beban yang berkurang, jelas dia, pelaku usaha bisa mengurangi harga pokok penjualan sehingga produk-produk lebih bisa dijangkau masyarakat. Apalagi, daya beli masyarakat kini dirasa tengah melemah akibat tiadanya kenaikan pendapatan di tengah fluktuasi rupiah dan penaikan sejumlah tarif/harga.
Namun, ia mengaku belum tahu detail isi PP No 18/2015 itu. "Kita bicara kualitatif dulu saja. Yang penting bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah bisa semakin menghidupkan iklim investasi. Semoga ini bukan sekadar omdo (omong doang)," tandasnya.
Senada dengan Soenoto, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesias Ade Sudrajat mengaku belum ada sosialisasi dari pemerintah. Ia malah menilai tax allowance tidak ubahnya sekadar pemanis. "Sebenarnya ada tiga kebijakan pokok lain yang lebih kami tunggu," kata dia.
Kebijakan-kebijakan itu ialah ketentuan penetapan upah minimum buruh yang setiap tahun berubah, penurunan tarif dasar listrik, dan pembukaan jalur ekspor untuk pengusaha tekstil.
Lebih lanjut, Ade menilai tax allowance sudah sepatutnya ada untuk mendorong industri dalam negeri, terutama tekstil. "Pertekstilan ini industri pionir dalam sejarah industrialisasi. Jadi, wajar dapat tax allowance. Apalagi kami didorong membuka lapangan kerja dan menambah devisa," tuturnya. (Dro/Tes/E-2)