Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
Rapat pembahasan tarif moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan atau light rail transit (LRT) antara PT MRT Jakarta dan PT LRT dengan Komisi B DPRD DKI Jakarta, kemarin, gagal membuahkan hasil. Alih-alih menghasilkan kesepakatan tarif, rapat justru menimbulkan polemik baru lantaran Komisi B meminta agar MRT dan LRT digratiskan.Permintaan penggratisan biaya itu diusulkan anggota Komisi B DPRD DKI Ida Mahmudah. Penggratisan biaya hanya diperuntukkan bagi warga DKI. Sementara itu, untuk warga di luar DKI tetap harus membayar tarif yang nantinya akan ditetapkan.
Ida mengatakan, Pemprov DKI memiliki kekuatan anggaran yang cukup guna menggratiskan biaya MRT dan LRT. Selain itu, penggratisan ini ditujukan agar masyarakat terpancing menggunakan angkutan massal.
"Bagaimana jika pada tahun pertama pengoperasian MRT dan LRT bisa gratis saja. Anggaran kita lebih dari cukup. Daripada hanya menjadi silpa (sisa lebih penggunaan anggaran) setiap tahun, lebih baik untuk menggratiskan tarifnya," ujarnya.
Ida juga menyebut penetapan gratis tarif bagi LRT merupakan opsi yang paling mungkin diambil karena infrastruktur LRT yang terbangun baru 5,8 kilometer (km). Dengan rute sependek itu, Ida menyebut LRT belum laik menjadi angkutan massal.
Anggota Komisi B DPRD DKI lainnya, Subandi, mengatakan penggratisan biaya MRT dan LRT pada tahun pertama ditujukan agar masyarakat bisa terbiasa menggunakan angkutan massal.
Baca Juga: Integrasi Transportasi Jangan Ditunda
Namun, Subandi menegaskan penetapan tarif sudah harus dilakukan sejak sekarang agar nantinya saat masa penerapan tarif gratis selesai, tarif berbayar bisa segera diberlakukan. Sementara itu, anggota Komisi B lainnya, Bimo Hastoro, menyebut menggratiskan tarif MRT dan LRT bisa saja dilakukan tapi harus dibatasi waktu. "Jangan terlalu panjang karena tidak akan sehat juga nanti untuk perusahaan," kata Bimo.
Selain penggratisan biaya, persoalan subsidi yang dinilai kemahalan juga kembali disorot Komisi B. PT MRT mengajukan subsidi sebesar Rp513 miliar per tahun atau Rp387 miliar sejak direncanakan beroperasi pada akhir Maret hingga akhir 2019.
Ketua Komisi B Abdurrahman Suhaimi meminta komponen biaya yang dimasukkan untuk menghitung nilai subsidi dikurangi. Misalnya, biaya penyusutan. Menurut Suhaimi, biaya penyusutan atau depresiasi tidak perlu dimasukkan karena sarana seperti pembelian gerbong kereta bisa dilakukan beberapa tahun sebelum puncak penyusutan. "Penyusutan sebaiknya dicoret. Karena ini terlalu mahal. Kita ingin tarif terjangkau bagi masyarakat tapi juga jangan membebani APBD," kata Suhaimi.
Gubernur menolak
Namun, usulan itu tegas-tegas ditolak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies mengatakan APBD DKI tidak akan cukup untuk memberikan subsidi 100% untuk menggratiskan tarif dua angkutan massal tersebut. "Tidak mungkin ya. Tidak cukup," tegasnya, kemarin.
Anies menuturkan pihaknya akan mendorong agar DPRD segera menyetujui tarif yang diajukan, yakni Rp6.000 untuk LRT dan Rp10 ribu per-10 km untuk MRT. "Akan segera dibahas. Moga-moga disetujui sebelum diresmikan Presiden," tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Keuangan PT MRT Jakarta Tuhiyat juga menolak usul gratis itu. Ia mengatakan sulit dari sisi teknologi untuk menggratiskan tarif MRT hanya untuk warga ber-KTP Jakarta sebab MRT menggunakan tiket uang elektronik yang berlaku umum. Ia menegaskan uang elektronik dari perbankan yang nantinya bisa digunakan untuk MRT pun tidak berteknologi menyaring pengguna. "Teknologinya kami tidak punya," ujar Tuhiyat.
Meskipun demikian, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perihal usulan Komisi B untuk menggratiskan tarif. "Kami serahkan kepada Pemprov DKI," terangnya. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved