Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
FENOMENA munculnya beberapa buaya di dua tempat berbeda belakangan ini menggegerkan warga Jakarta. Baik dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta belum bisa memastikan dari mana asal buaya-buaya tersebut.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menjelaskan ada dua kemungkinan, salah satunya buaya mencari habitat baru lantaran habitat awalnya tercemar atau terganggu. Kondisi tidak ada makan sangat mungkin membuat buaya keluar dari sarangnya.
"Jika habitatnya yang terganggu cek apa penyebab gangguannya. Apakah karena tercemar limbah dan sampah sehingga makanan buaya tidak ada atau sarangnya yang rusak sehingga perlu diperbaiki," kata Nirwono saat dihubungi, Jumat (29/6).
Untuk bisa memastikan sebabnya, lanjut Nirwono, buaya harus ditangkap terlebih dulu. Agar bisa diketahui apakah buaya berasal dari penangkaran atau keluar dari habitat terdekatnya di Pantai Utara (Pantura).
"Dari kedua kasus buaya muncul, Pemprov DKI justru harus proaktif melakukan penyisiran dan penyidakan ke tempat-tempat yang dicurigai memiliki kandang atau penangkaran buaya," ujar Nirwono.
Dari foto-foto yang tersebar di sosial media, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menduga buaya yang berkeliaran di Jakarta termasuk buaya muara (Crocodylus porosus). Buaya tersebut merupakan buaya terbesar, terpanjang, dan terganas jika dibandingkan dengan spesies buaya lainnya.
Daerah persebaran buaya muara pun terluas dibandingkan spesies buaya lainnya sehingga memiliki daya jelajah cukup jauh dalam mencari mangsa ataupun aktivitas mencari potensi daerah kembangbiak yang aman.
Subdit Sumber Daya Genetik KLHK Wiwid Widodo mengatakan, kemungkinan buaya keluar lantaran habitat utamanya terusik. Masalah kurangnya ketersediaan mangsa mendorong buaya muara menjelajah mencari sumber pakan di daerah lain.
"Gangguan bisa berupa perusakan habitat sungai, muara, mangrove ataupun berkurangnya pakan akibat perburuan dan pencemaran lingkungan (berkurangnya ikan)," imbuhnya.
Jakarta sendiri memiliki ekosistem perairan meliputi pantai, mangrove, muara, sungai dan anak sungai serta saluran air pembuangan kecil dan besar. Seluruhnya saling tersambung. Seluruhnya pula berpotensi menjadi habitat buaya karena daerah jelajah Buaya Muara luas dalam melakukan aktivitas mencari mangsa.
"Potensi negatifnya berupa kondisi 'tersesat' (dalam saluran pembuangan kecil dan besar) untuk kembali ke habitat awal di sungai besar dan muara," imbuhnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Isnawa Adji mengatakan, fenomena kemunculan buaya akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi setidaknya 3-4 tahun ke belakang. Dirinya mengklaim, kemungkinan hewan masuk perairan Jakarta lantaran kondisinya yang semakin baik. Hal itu pula yang menyebabkan petugas Dinas LH kerap bertemu hewan-hewan tak biasa di area perairan.
"Pasukan oranye Suku Dinas LH Kepulauan Seribu misalnya, mulai menemukan lumba-lumba atau paus hiu tutul yang sering muncul di perairan Kepulauan Seribu," katanya.
Bahkan, UPK Badan Air Dinas LH kerap menemukan ular, biawak, bahkan penyu di perairan Jakarta. Namun, terkait penemuan buaya belum pernah terjadi. Mengenai kemungkinan rusaknya habitat asal para buaya, dikatakan Isnawa, belum bisa dipastikan penyebabnya.
"Memang untuk buaya masih menjadi fenomena yang baru. Apa karena habitatnya (rusak) belum bisa dipastikan," pungkasnya.
Kendati demikian, ia memastikan pasukan oranye dan petugas UPK Badan Air terus membersihkan sungai dan kali Jakarta. Selama ini tim kebersihan kali dan sungai belum pernah menemukan buaya. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved