Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
SEBANYAK 3.900 orang di DKI Jakarta meninggal karena penyakit kanker pada 2017. Di tengah urgensi kebutuhan fasilitas penanganan, rencana pembangunan rumah sakit khusus kanker di lahan bekas milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) masih terganjal oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Saat ini, para penderita kanker rata-rata harus mengantre selama tiga hingga enam bulan bagi orang dewasa untuk bisa menjalani operasi maupun terapi kanker di Jakarta. "Kalau anak-anak sekitar satu tahun (antrenya). Yang terjadi seperti itu," tutur Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (15/2).
Sejauh ini, DKI Jakarta tidak memiliki rumah sakit umum daerah (RSUD) khusus kanker dengan fasilitas penanganan yang menyeluruh. Sejumlah rumah sakit kanker yang berlokasi di Jakarta seperti RS Kanker Darmais, RS Cipto Mangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, RS Persahabatan, dan RS Fatmawati memiliki cakupan nasional.
Yayasan Kanker Indonesia (YKI) mencatat 40% pasien kanker di DKI Jakarta berasal dari luar daerah. Fasilitas penanganan kanker di daerah pun tidak memadai.
Di sisi lain, rencana membangun RS khusus kanker milik Pemprov DKI di lahan bekas milik YKSW, Jakarta Barat, pun kini tidak jelas. Padahal, rencana itu telah digaungkan sejak 2014. "Buat DKI (fasilitas penanganan kanker) ya mulai meningkat, tapi belum maksimal. Pembangunan RS Sumber Waras kan belum diperbolehkan," ujar Koesmedi.
Ketua YKI Aru Wicaksono Sudoyo menyebut ada urgensi pembangunan rumah sakit khusus kanker di Jakarta. Pasalnya fasilitas penanganan penyakit kanker di Jakarta tidak hanya melayani para penderita yang ber-KTP DKI. "Coba cek, ada berapa rumah sakit yang punya radioterapi di DKI? Kayaknya enggak ada 10," sebut Aru.
Apalagi sejak ada kelonggaran biaya pengobatan menggunakan layanan BPJS, persoalan kurangnya tenaga ahli dan fasilitas kanker semakin terasa. Aru menyebut pasien yang harus menunggu berbulan-bulan ialah mereka yang menggunakan BPJS.
Mengurangi beban
Pembangunan rumah sakit khusus kanker dianggap bisa mengurangi beban ketidakseimbangan itu. YKI mendesak agar Pemprov DKI mempertimbangkan fakta ini dalam persoalan Sumber Waras. "Polemik tentang Sumber Waras itu politis, tidak membahas perlu atau tidaknya (rumah sakit khusus kanker)," tegas Aru.
Hal senada disampaikan Esterina Sutiono, pejuang kanker payudara sekaligus Humas Cancer Information and Support Center (CISC). Menurut Ester, antrean panjang tidak hanya menimpa pasien BPJS, tetapi juga pasien swadana lantaran meningkatnya kesadaran penderita untuk berobat. Kehadiran RS baru dengan fasilitas kanker yang memadai amat diharapkan.
"Kanker itu berpacu dengan waktu. Kalau pasien harus menunggu sampai berbulan-bulan, ditambah bingungnya pasien, itu sangat memicu peningkatan stadium penyakitnya. Dari enggak begitu parah bisa jadi parah. Apalagi yang berobat kanker di negara kita kebanyakan sudah bukan stadium dini lagi," ucapnya.
Akibatnya, sambung Ester, banyak pasien kanker yang berupaya mencari pengobatan alternatif sembari menunggu jadwal penanganan mereka tiba. Antrean itu tidak hanya terjadi untuk operasi pengangkatan sel kanker, tetapi juga terapi kanker seperti kemoterapi dan radioterapi.
(J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved