Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
SEJAK 2015 hingga 2017, tingkat kemiskinan di DKI Jakarta tidak berkurang. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, dalam kurun waktu itu, angka kemiskinan berkutat di kisaran 3,93%-3,78%. Artinya, 393,13 ribu warga Jakarta masih bestatus miskin dalam tiga tahun terakhir.
Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan, stagnansi angka kemiskinan itu akibat tak akuratnya data kemiskinan yang dimiliki Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
“Selama ini mereka menggunakan data tidak akurat alias hanya kira-kira. Seharusnya Pemprov DKI segera merilis jumlah penduduk miskin yang sebenarnya berapa, sehingga upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan jadi tepat sasaran,” ungkap Nirwono, kemarin.
DKI sejatinya sudah mempunyai fasilitas kartu Jakarta pintar (KJP) dan kartu Jakarta sehat (KJS) bagi warga DKI, juga program pemberian beras sejahtera (Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, program itu justru berpotensi menjadi celah korupsi karena tidak tepat sasaran.
Seharusnya, lanjut Nirwono, DKI punya data akurat yang mencakup lokasi sebaran kantong-kantong kemiskinan, kondisi riil keluarga miskin itu, mata pencaharian kepala keluarga, dan sumber pendapatan keluarga, termasuk survei tingkat pendidikan. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat bisa tepat sasaran.
“Kebijakan itu kemudian dibuat dalam periode waktu yang jelas, misalnya kewajiban pendidikan gratis untuk semua anak miskin melalui KJP Plus, pastikan semua mendapat KJS Plus. Semua dilibatkan dalam Oke Oce untuk buka lapangan kerja, serta penataan lingkungan (bedah rumah, bedah kampung, dan relokasi ke rusunawa). Prinsipnya, tidak boleh ada yang tertinggal,” jelas Nirwono.
Kepala BPS DKI Thoman Pardosi pun mengakui survei yang dilakukan pihaknya tidak sebatas pada warga ber-KTP DKI, melainkan seluruh orang miskin di Jakarta.
Padahal, menurut Nirwono, penduduk miskin yang tidak ber-KTP DKI tidak bisa dihitung sebagai beban DKI Jakarta karena APBD DKI hanya bisa digunakan untuk warga ber-KTP DKI.
“Urbanisasi bisa juga menjadi salah satu penyebabnya. Tapi yang paling signifikan adalah kembali ke data yang akurat penduduk DKI dulu baru bisa dilihat pengaruh atau tidaknya urbanisasi,” tambah Nirwono.
Pemprov DKI biasanya menyurvei warga melalui para pengurus rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), kemudian ke tingkat kelurahan hingga kecamatan. Namun masalahnya, mulai dari RT hingga kecamatan itu berbasis data yang tak akurat. “Semuanya kira-kira,” imbuh Nirwono. (Aya/J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved