Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Pembangunan Kios Asemka Tabrak Aturan

Mal/J-4
21/10/2017 08:21
Pembangunan Kios Asemka Tabrak Aturan
(Dok. MI/SAFIR MAKKI)

SEBANYAK 106 kios permanen berdiri di kolong jembatan layang Asemka, Tambora, Jakarta Barat. Padahal, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan dengan jelas melarang pemanfaat­an lahan di bawah jembatan. Pemkot Jakarta Barat mengaku pembangunan kios pedagang itu dilakukan atas izin Wali Kota Jakarta Barat, Anas Effendi.

“Itu acc wali kota, persetujuan di wali kota. Itu pedagang binaan UKM sudah lama,” kata Kepala Suku Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan (KUMKMP) Jakarta Barat Nuraini Silviana, kemarin.

Pedagang Asemka memang sudah ada sejak lama. Dahulu, mereka menempati bangunan di lokasi sekitar 7 meter sebelah barat kios baru ini. Sejak Kamis (19/10), mereka menempati kios baru berukuran 2 x 2,5 meter tersebut.

Bentuknya bangunan permanen berbahan beton, dengan papan sekat, juga besi tipis antarkios. Kios yang dibangun dengan dana CSR itu juga dilengkapi dengan rolling door.

Kolong jembatan yang dulu ialah jalur pedestrian kini didominasi deretan kios. Trotoar pun berlapis keramik. Jalur pedestrian hanya tersisa 20 sentimeter dari bahu jalan. Bahkan, bila barang dagangan dipajang ala etalase, jalur pedestrian akan habis sepenuhnya.

Belum lagi deretan kendaraan yang diparkir di depan kios hingga menutupi badan jalan membuat kawasan Asemka semrawut. Padahal, pelanggar Pasal 63 UU No 38/2004 diancam kurungan penjara 18 bulan dan denda Rp1,5 miliar.

Bayar sewa

Tak hanya mengganggu fungsi jalan, pembangunan kios itu diduga melahirkan praktik pungli. Seorang pedagang berinisial MH, 37, mengaku harus membayar Rp50 juta per tahun ke paguyuban pedagang Asemka. “Sekarang belum bayar, masih dikasih kesempatan uji coba dulu,” ujarnya.

Pedagang lainnya, Jam, 43, mengatakan ada pihak bagian dari paguyuban itu yang meminta uang retribusi Rp25 ribu per hari. Namun, retribusi itu tidak disetorkan melalui Bank DKI, seperti diatur Perda DKI no 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. “Jadi, paguyubannya akan muter-muter di sini. Tarik cash,” ungkapnya.

Padahal menurut perda, tarif retribusi lokasi sementara (loksem) pedagang dipatok sebesar Rp3 ribu, sementara lokasi binaan (lokbin) sebesar Rp4.000. Pembayaran secara autodebet melalui rekening bank DKI.

Dinas KUMKMP mengaku tidak mengetahui ihwal uang sewa tersebut. “Enggak ada. Ibu enggak tahu. Ibu belum dapat temuan. Yang koordinasi mereka (Paguyuban). Kalau keamanan sah-sah saja. Kan mereka juga punya paguyuban dan harus punya uang kas,” ujar Silvi.
Sementara itu, Anas tidak merespons ketika dihubungi melalui sambungan telepon. (Mal/J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya