Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
LALU lalang kendaraan di Jalan Pancoran, Glodok, Tamansari, Jakarta Barat, padat merayap. Suara klakson sepeda motor, angkot, bajaj, dan calo penumpang berseliweran memekakkan telinga.
Dari dulu, Glodok memang selalu ramai oleh kendaraan bermotor. Di situlah pusat elektronik terbesar Ibu Kota yang dikenal ke seluruh penjuru Tanah Air. Namun, suasana di sana benar-benar telah berubah. Pengunjung sepi. Penerangan pun agak remang. Hanya sebagian toko menyalakan lampu. Sebagian lagi gelap dan menutup toko. Padahal siang itu, 22 Agustus, bukan hari libur atau hari raya. Sebagian pedagang tutup toko karena gulung tikar.
Di lantai tiga dan empat kondisi lebih hampa. Bahkan di salah satu pintu toko tertempel tulisan ‘disewakan’. Suasana semakin gersang karena tangga jalan pun tak berfungsi dan sampah berserakan di lantai.
Andre, 52, penjual Play Station (PS) di lantai dasar, mengungkapkan Glodok sudah berubah dua sampai tiga tahun terakhir. Hari itu, dia buka toko sejak pukul 09.00. Saat ditemui 4 jam kemudian, belum satu pun pembeli singgah. “Bertanya-tanya saja enggak, apalagi membeli,” selorohnya.
Pada masa jayanya, empat tahun ke belakang, menjual barang sangatlah mudah. Dalam satu hari, bisa 5 sampai 10 terjual. Bahkan, saking sibuknya melayani pembeli, ia kerap mengacuhkan konsumen yang rewel bertanya. Kondisi sekarang berbalik 180 derajat. Tiga tahun terakhir, penjualanturun drastis. “Pernah cuma laku satu atau dua dalam seminggu. Ya beginilah kondisi sekarang,” kata Andre yang telah delapan tahun berjualan di Glodok.
Pengunjung kini bisa dihitung dengan jari. Penyebabnya pedagang mengaku tergerus persaingan dengan toko online. “Penjual cuma duduk-duduk lihat pesanan barang lewat handphone, selesai urusan,” ujar Andre.
Beberapa pedagang yang bertahan menyiasati persaingan dengan tetap membuka toko sekaligus lewat online bahkan memasarkan melalui situs e-commerce. “Kalau enggak, habislah saya, enggak dapat pemasukan. Jadi toko tempat penyimpanan barang dan nunggu pembeli datang maupun pesanan daring,” kata Toni, 42, pedagang elektronik.
Dia mengaku kini hanya bisa membawa pulang penghasilan rata-rata Rp100 ribu per hari dari penjualan toko. “Pernah dalam seharian itu enggak ada pembeli. Kami bisa bertahan karena dibantu penjualan online.”
Merajai perdagangan
Selain munculnya toko online, menjamurnya pusat perbelanjaan dan jaringan gerai elektronik, khususnya pinggiran kota, juga menjadi penyebab Glodok semakin ditinggalkan. Asisten Manager Pasar Glodok PD Pasar Jaya Aswan mengisahkan pada masa jayanya, Glodok merajai perdagangan barang-barang elektronik. Tak hanya di Jabodetabek, sejumlah wilayah di Tanah Air pun menjadikan Glodok sebagai pusat perbelanjaan.
“Sekarang pusat perbelanjaan bukan lagi hanya di Jakarta, bukan hanya di Glodok. Khususnya barang elektronik, di pinggiran Jakarta pun sudah gampang menemukannya,” tutur Aswan. Dari 1.880 kios yang ada di Pasar Glodok, menurutnya, yang masih aktif buka 1.167 unit. Ini berarti sudah 38% kios tak lagi beroperasi.
Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Sandiaga Uno, menilai Pasar Glodok tak lagi cocok jadi tempat penjualan elektronik. Tren belanja dan kebutuhan masyarakat sudah berubah. “Pasar Glodok bisa dijadikan co-working space. Pasar Glodok juga berpotensi dijadikan pusat olahraga dan mobilitas UKM.”
Kepala Suku Dinas Koperasi, Usaha Kecil, Menengah, dan Perdagangan (UMKMP) Jakarta Barat Nuraini Sylvana menyatakan belum ada pembahasan soal Pasar Glodok jadi lokasi binaan UKM. “Sepertinya Glodok tidak bisa jadi tempat binaan karena bukan pasar di bawah UMKMP,” terang Sylvi. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved