Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
"SAYA ibarat seekor burung dalam sangkar," ucap Hind Shaheen pada Minggu (12/2) lalu. Saat ini, Shaheen yang menderita kanker masih tergolek tak berdaya di tempat tidur di Rumah Sakit Al-Rantisi, Kota Gaza, Palestina.
Dengan disaksikan anggota keluarganya, Shaheen mengungkapkan kepedihan hatinya. "Di luar sangkar, saya memang melihat air dan makanan, tetapi saya tidak mampu mendapatnya. Inilah kondisi sekarang," tutur Shaheen dengan air mata berlinang.
Shaheen ialah warga Palestina yang mengidap kanker payudara. Dengan penyakit itu, dia harus berjuang keras agar bisa bertahan hidup. Di tengah penderitaannya, kondisi Gaza justru kian membuat Shaheen putus asa.
Masa depan Shaheen dan para penderita kanker lainnya di Gaza semakin gelap dan tak pasti sejak otoritas Israel menerapkan kebijakan tak manusiawi.
Dalam empat bulan terakhir, pemerintah negara Yahudi itu melarang para penderita kanker keluar dari Kota Gaza. Wilayah yang dikendalikan faksi Palestina, Hamas, itu pun menghadapi persoalan pelik. Wilayah Palestina yang berbatasan dengan Mesir tidak lagi memiliki sumber medis yang memadai dalam merawat para penderita kanker Palestina.
Otoritas Israel pun tak peduli dengan para penderita kanker seperti Shaheen. Bahkan Shaheen telah mengajukan izin berobat untuk keluar dari Gaza dengan melintas perbatasan Erez. Tiga kali surat izin diajukan Shaheen, tetapi pejabat Israel tak memedulikannya.
Sejak 2007, wilayah Gaza di bawah pengawasan Israel dan Mesir. Pos pemeriksaan di Erez dijagat ketat aparat keamanan Israel. Selama ini, pos tersebut menjadi pintu gerbang sekitar dua juta warga Gaza menuju Mesir.
Dari pos Erez, sebelumnya warga Palestina dari Tepi Barat bisa berobat ke wilayah Israel. Namun, sejak empat bulan terakhir, pos tersebut menjadi tertutup bagi warga Palestina termasuk warga Palestina yang menderita kanker.
"Saya juga tidak bisa berobat ke Mesir. Pintu pelintasan telah ditutup sejak tiga sampai empat bulan lalu. Saya terpaku di sini," tutur Shaheen yang kondisi kesehatannya kian memburuk.
Nasib buruk bukan hanya dialami Shaheen. Sekitar 1.500 penderita kanker lainnya tak bisa berbuat apa-apa dan tinggal menunggu nasib yang tak pasti. Bahkan mereka kerap tak memdapatkan obat kemoterapi, pelayanan radioterapi, terapi molekuler, PET scan, dan isotop scan di Gaza.
"Permintaan izin berobat pasien banyak diajukan, tetapi otoritas Israel selalu mengatakan sedang diproses," jelas Awad Aeshan, seorang dokter ahli onkologi radiasi di Rumah Sakit Al-Shifa, Kota Gaza.(Aljazeera/Deri Dahuri/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved