Pohon Natal Dibakar Saat Protes di Damaskus, Kekhawatiran Menyelimuti Perayaan Natal di Suriah dan Palestina

PROTES pecah di lingkungan Kristen di ibu kota Suriah, Damaskus, setelah pohon Natal dibakar pria tak dikenal di kota lain pada Senin malam.

Sebuah video yang menunjukkan pria-pria membakar pohon Natal yang dipajang di depan umum di kota mayoritas Kristen Suqaylabiyah, dekat kota Hama, muncul di internet, memicu protes tersebut. Tidak jelas siapa yang membakar pohon itu, tetapi sebuah video menunjukkan seorang pemberontak berdiri di samping pendeta Kristen dan bersumpah untuk menghukum pelaku.

"Pagi berikutnya Anda akan melihat pohon itu dipulihkan sepenuhnya," kata pemberontak tak dikenal tersebut kepada kelompok yang sedang protes di dekat pohon Natal yang terbakar.

Baca juga : Kristen Bell Tampilkan Tema Wicked pada Pohon Natal Keluarga

Peristiwa ini terjadi tiga minggu setelah pemberontak oposisi melancarkan kampanye yang sukses untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. Kini, orang Kristen Suriah bergabung dengan mereka yang ada di Libanon dan wilayah Palestina merayakan Natal di tengah ketidakpastian dan ketakutan yang besar di wilayah tersebut.

Para pengunjuk rasa di ibu kota berbaris menuju gereja untuk menuntut perlindungan yang lebih baik bagi orang Kristen di negara tersebut, kata George, seorang warga Katolik berusia 24 tahun dari Damaskus yang memilih untuk hanya menyebutkan nama depannya agar dapat berbicara dengan bebas, kepada CNN.

Ketika pemberontak Islamis menyerbu kota terbesar kedua di Suriah dalam sebuah operasi yang pada akhirnya akan mengarah pada penggulingan rezim Assad yang brutal, orang Kristen diberi jaminan gereja dan properti mereka akan tetap terlindungi.

Baca juga : Umat Kristen di Damaskus mulai Rayakan Natal

Di bawah Assad, orang Kristen diizinkan merayakan liburan mereka dan melaksanakan ritual mereka, tetapi seperti halnya seluruh rakyat Suriah, mereka menghadapi pembatasan tirani terhadap kebebasan berbicara dan aktivitas politik.

Saat ini, yang menguasai sebagian besar Suriah adalah kelompok pemberontak bersenjata Islamis Hayat Tahrir Al-Sham (HTS), yang dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammed Al Jolani — seorang pria yang mendirikan afiliasi Al-Qaeda di Suriah sebelum mengganti nama kelompoknya pada tahun 2016.

Al-Sharaa berpendapat kelompoknya akan melindungi minoritas dan sekte-sekte agama di Suriah, tetapi belum secara spesifik memanggil perlindungan untuk orang Kristen menjelang perayaan Natal. Pemerintah yang dipimpin HTS mengatakan bahwa Rabu (25/12) dan Kamis (26/12) akan menjadi hari libur umum.

Baca juga : Pohon Natal di Suriah Dibakar, Ratusan Orang Gelar Demonstrasi

Warga ibu kota Damaskus mengatakan kepada CNN bahwa HTS tidak memberlakukan pembatasan apa pun pada perayaan atau doa tahun ini, tetapi orang Kristen masih takut bahwa elemen bersenjata yang tidak terafiliasi dengan HTS dapat menyerang mereka.

"Pemberontak Hayat Tahrir Al Sham belum mengumumkan apa pun mengenai penghentian perayaan kami… tetapi ada orang Kristen yang tidak ingin keluar untuk merayakan karena mereka takut diserang oleh individu bersenjata yang tidak terorganisir," kata George.

Pohon Natal dan dekorasi meriah lainnya dipasang di seluruh lingkungan Kristen di Damaskus, kata George, tetapi orang-orang mengurangi perayaan mereka dan memberlakukan pembatasan mereka sendiri di tengah ketidakhadiran komunikasi dari HTS.

Baca juga : Ditemukan Kuburan Massal Berisi 100.000 Mayat Kekejaman Assad

"Itu akan membuat perbedaan besar jika ada pengumuman mengenai perlindungan yang lebih baik untuk Natal. Sampai sekarang, tidak ada keamanan yang tepat yang terorganisir 100%," tambah George.

Hilda Haskour, seorang perempuan berusia 50 tahun asal Aleppo yang mengidentifikasi diri sebagai Katolik Siria, sedang mempersiapkan perayaan Natal tetapi mengatakan masih ada kekhawatiran di kalangan orang Kristen.

"Kami hanya ingin hidup dalam damai dan aman, kami tidak meminta banyak… ada ketakutan, orang-orang lelah," kata Haskour.

"Kami Akan Membangun Lagi"

Untuk tahun kedua berturut-turut, pohon Natal tidak akan dipasang di kota yang dihormati sebagai tempat kelahiran Yesus, Betlehem.

Sejak perang Gaza dimulai tahun lalu setelah serangan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober, kota Betlehem yang diduduki Israel telah mengalami "isolasi berat" karena pembatasan yang diberlakukan, penangguhan pariwisata, penutupan gerbangnya bagi peziarah, dan ekonomi yang membeku, kata Wali Kota Betlehem, Anton Salman, dalam konferensi pers pada Sabtu.

Setidaknya US$600 juta telah hilang dalam pendapatan dan tingkat pengangguran melonjak hingga lebih dari 36%, dengan tingkat kemiskinan yang meningkat karena hampir 30% dari penduduk Betlehem tidak memiliki sumber pendapatan akibat tidak adanya turis.

"Perayaan Natal tahun ini akan dibatasi pada doa dan ritual keagamaan sebagai bentuk solidaritas dengan rakyat Palestina di Gaza dan di seluruh Palestina serta sebagai penolakan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang mereka alami," demikian pernyataan yang mengutip Salman.

Selama setahun terakhir di Gaza, di mana serangan Israel telah membunuh sedikitnya 45.000 orang dan menghancurkan sebagian besar wilayah, gereja-gereja telah beberapa kali menjadi sasaran serangan pasukan Israel. Beberapa hari sebelum Natal tahun lalu, seorang penembak jitu militer Israel menembak dan membunuh dua perempuan di dalam Paroki Keluarga Kudus, menurut Patriark Latin Yerusalem.

Natal tahun ini, Uskup Katolik Yerusalem, yang dikenal sebagai Patriark, diizinkan untuk memasuki Gaza untuk berdoa bersama dengan sedikit populasi Kristen di wilayah tersebut di Paroki Keluarga Kudus, yang selama setahun terakhir telah berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi minoritas agama kecil tersebut.

"Perang ini akan berakhir, dan kami akan membangun lagi, tetapi kita harus menjaga hati kita agar mampu membangun kembali. Kami mencintai kalian, jadi jangan pernah takut dan jangan pernah menyerah," kata Kardinal Pierbattista Pizzaballa kepada jemaat saat Misa Minggu.

Di pinggiran Khan Younis, di Gaza selatan, Umm Asaad, seorang perempuan Kristen berusia 74 tahun yang telah dipindahkan 12 kali bersama suaminya, merayakan Natal dari tenda darurat. Ia mengatakan kepada CNN bahwa perang ini adalah yang paling sulit yang pernah dia saksikan.

"Dulu kami berkumpul, pergi ke gereja, saling memberi ucapan dan merayakan bersama. Ada harapan untuk hidup," kata Umm Asaad.

"Sekarang tidak ada harapan," tambahnya.

Libanon Merayakan

Sementara itu, di Libanon, dekorasi dipasang di bagian Kristen Beirut, di mana komunitas-komunitas sangat ingin merayakan hanya beberapa minggu setelah gencatan senjata antara Hezbollah dan Israel diumumkan. Penerbangan penuh dipesan karena orang-orang kembali untuk merayakan Natal bersama keluarga dan pasar-pasar meriah dibuka di berbagai lingkungan.

"Saudaraku terbang kembali dari New York hanya untuk merayakan bersama ibu kami," kata Tony Batte, seorang warga Katolik Armenia dari Beirut.

Pada September, Israel memperluas target serangannya terhadap Hezbollah ke wilayah-wilayah di dalam Libanon, termasuk ibu kota Beirut. Sekitar 4.000 orang tewas dan ribuan lainnya terluka di Libanon sementara Hezbollah terus menembakkan roket dan drone ke kota-kota Israel di utara, menyebabkan ribuan orang mengungsi.

Hezbollah ikut serta dalam perang tahun lalu sebagai bentuk solidaritas dengan Palestina di Gaza dan Hamas, namun sejak itu mengalami kerugian besar, termasuk pembunuhan pemimpin utamanya Hassan Nasrallah dan pejabat tinggi lainnya, serta melumpuhkan kemampuan rudal kelompok militan tersebut. Kejatuhan sekutunya Assad, dan penangkapan jalur pasokan utama yang digunakan oleh Hezbollah di Suriah, juga dapat memengaruhi kemampuan kelompok yang didukung Iran tersebut.

"Kami ingin stabilitas, kami lelah. Kami dulu dijajah oleh Suriah selama bertahun-tahun, lalu ada pengaruh Iran, dan kami lelah dengan pertikaian Kristen, pertikaian Islam, perang Hezbollah-Israel, setiap orang Lebanon lelah, bukan hanya orang Kristen," kata Batte. (CNN/Z-3)