Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Turki Bersahabat dengan Seteru dari Sekutu

Deri Dahuri
18/10/2016 00:45
Turki Bersahabat dengan Seteru dari Sekutu
(AFP / OZAN KOSE)

PEKAN lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sepakat menjalin kerja sama militer dan intelijen setelah pertemuan di Istanbul, Turki. Padahal, sejak November tahun lalu, hubungan kedua negara itu mencapai titik nadir. Insiden penembakan jet tempur Rusia SU-24 pada 24 November 2015 di wilayah perbatasan Turki-Suriah membuat Rusia murka. Rusia yang mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad menyalahkan Turki dan menilai penembakan itu sebagai sebuah penghinaan. 'Negeri Beruang Merah' itu memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan.

Sebaliknya, Turki yang juga anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berpegang teguh pada tindakan mereka. Jet tempur Rusia dinilai telah melanggar wilayah udara yang berada di dalam kedaulatan Turki. Dengan argumen masing-masing, kedua negara sulit kembali berjabat tangan. Namun, pada pertengahan Juli lalu, Turki digoyang upaya kudeta yang gagal untuk melengserkan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Erdogan meyakini kudeta tersebut didalangi tokoh oposisi, Fethullah Gulen, yang sempat menjadi sahabat dekatnya tersebut.

Ribuan pendukung Erdogan melakukan perlawanan terhadap personel militer yang ingin menguasai pemerintah. Namun, kudeta yang melibatkan petinggi militer itu harus ditebus dengan 290 orang tewas dan lebih dari 1.400 orang terluka. Sejak itu, Erdogan yang merasa dikhianati pun melakukan aksi balas dendam. Ia menangkap dan memenjarakan lebih dari 3.000 personel militer. Otoritas Turki memburu para Gulenis atau para pendukung dan simpatisan Gulen dari berbagai latar belakang. Puluhan ribu orang pun ditangkap.

Aksi penangkapan tersebut dikecam Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Menteri Luar Negeri AS John Kerry mendesak Erdogan tetap menghormati hak asasi dan nilai-nilai demokrasi. Uni Eropa mengancam mempersulit Turki dalam proses menjadi anggota Uni Eropa. Sebaliknya, Erdogan tetap ngotot untuk mengadili tokoh utama kudeta yang gagal tersebut. Gulen, ulama yang tengah mengasingkan diri di 'Negeri Paman Sam', diminta diekstradisi untuk diadili atas perbuatannya. Pemerintah Turki pun berulang kali meminta Washington mengekstradisi pria berusia 75 tahun itu. Dengan berbagai alasan, AS tetap menolak Erdogan yang hendak mengadili Gulen. Washington tak rela Gulen diadili di negeri asalnya.

Lirik seteru AS
Di tengah kekecewaan dan merasa disudutkan, Erdogan pun mulai melirik seteru AS, Rusia. Hubungan Turki dan Rusia terkait dengan ekonomi memang sempat erat karena sejumlah perusahaan Turki berinvestasi di wilayah Rusia. Namun, sejak insiden penembakan pesawat tempur SU-24, hubungan kedua negara memanas.

Kedua negara sebenarnya masih memiliki perbedaan kebijakan, terutama terkait dengan konflik di Suriah. Erdogan berkepentingan untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad yang telah membantai ribuan muslim Sunni. Tak hanya itu, kelompok separatis Partai Pekerja Kurdi (PKK) berhubungan erat dengan para pejuang Kurdi di wilayah Suriah.

Sebaliknya, Rusia jelas sangat mendukung pemerintah Al-Assad. Putin terus menyokong Al-Assad dengan mengirim sejumlah pesawat tempur dan persenjataan untuk memerangi kelompok pemberontak Islamic State (IS) dan kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Suriah (FSA) yang didukung AS dan sekutunya. Tampaknya perbedaan itu tidak menjadi hambatan bagi Turki dan Rusia untuk bersatu. Pascakudeta yang gagal, Putin sempat memberikan dorongan semangat kepada Erdogan dan mengecam aksi kudeta di Turki.

Sejak itu, hubungan Turki-Rusia membaik. Pada pertengahan Agustus lalu, Putin mengundang Erdogan untuk bertandang ke Istana Saint Petersburg, Rusia. Jabat tangan keduanya menjadi tonggak untuk mengakhiri permusuhan yang berlangsung selama delapan bulan dan menghapus sanksi ekonomi. Senyuman Putin terhadap Erdogan menjadi kesan bahwa rekonsiliasi telah dilakukan. Dalam pertemuan itu, Erdogan menyebut Putin sebagai 'teman yang dicintai' sampai lima kali. Bahkan, ia berjanji hubungan dengan Rusia bukan hanya memperbaiki sebagaimana sebelumnya, melainkan hubungan kedua negara jauh lebih erat lagi.

Sebuah surat kabar Rusia menggambarkan sikap Erdogan seakan tidak menunjukkan adanya masalah antara kedua negara sebelumnya. Putin menegaskan dirinya dan Erdogan mencapai titik temu soal perlunya bantuan kemanusiaan ke Aleppo. "Kami memiliki posisi yang sama bahwa kami perlu melakukan semuanya untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Aleppo. Pertanyaan hanya meyakinkan keamanan pengiriman," ucap Putin. Dalam bidang ekonomi, kedua negara telah mencapai kesepakatan membangun dua jalur pipa di bawah laut yang melintasi Laut Hitam untuk mengirim gas ke Rusia. Dalam jumpa pers bersama Putin, Erdogan mengatakan percaya hubungan normalisasi akan berlangsung dengan cepat.

Pada Senin (10/10), menteri energi Turki dan Rusia menandatangani kesepakatan untuk proyek pipa gas perusahaan Turk Stream bersamaan dengan digelarnya Kongres Energi Dunia di Kota Istanbul. Satu jalur pipa dari Rusia ditujukan untuk memenuhi kosumsi domestik di Turki. Pipa lainnya akan membentang dan melintasi wilayah Ukraina untuk memenuhi kebutuhan gas bagi negara-negara di kawasan tenggara Eropa lainnya. Kedua belah pihak juga sepakat membangun pembangkit listrik tenaga nuklir yang pertama di Akkuyu, Provinsi Mersin, Turki. Erdogan mengaku senang dengan normalisasi hubungan itu. "Saya yakin bahwa pada saatnya kerugian akan terbayarkan pada periode mendatang," ucap Erdogan.

Motif ekonomi
Yang pertama dan utama, Erdogan memang tengah mencari sahabat dekat pascakudeta yang gagal pada Juli lalu. Bahkan, serangan bom yang berulang terutama dari kelompok separatis Kurdi cukup menggoyahkan pemerintahnya. Normalisasi hubungan dengan Rusia tak hanya membuat Turki memiliki sahabat dekat setelah dijauhi sekutunya sendiri sesama anggota NATO, AS dan Uni Eropa. Sanksi dari Rusia terhadap Turki pascapenembakan jet tempur SU-24 ialah perekonomian Turki turut limbung.

Penyebabnya, larangan pesawat komersial Turki untuk mendarat di Rusia telah menyebabkan merosotnya kunjungan jutaan turis asal Rusia. Bahkan, penurunan wisatawan asal negara adidaya tersebut ke Ankara mencapai hampir 90%. Sebuah stasiun televisi milik pemerintah Rusia mengatakan sayuran dan buah-buahan murah hasil para petani Turki akan kembali masuk ke Rusia. Saat hubungan Turki-Rusia memanas, Kremlin menolak mengimpor hasil pertanian dari Turki. "Para turis menuju ke sana (Turki), tomat-tomat (asal Turki) ke sini (Rusia)," demikian laporan sebuah surat kabar Vedemosti yang beredar di Rusia.

Kerja sama militer
Normalisasi Turki dan Rusia telah membuat AS geram. Sebagai anggota NATO, Turki selayaknya menjauhi dan haram menjalin kerja sama dalam bidang militer. Namun, Erdogan yang tengah kecewa dengan sikap sekutunya, AS, justru kian melangkah jauh. Turki siap membeli sistem pertahanan buatan Rusia. Pada Jumat (14/10), Kremlin tengah mempertimbangkan mengirimkan sistem pertahanan udara kepada anggota NATO tersebut. "Berbagai sistem pertahanan antirudal telah dijelaskan. Jika pihak Turki memintanya, Rusia akan mempertimbangkan kemungkinan untuk memasok kepada Turki dengan berbagai cara," kata Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin.(AFP/CNN/BBC/Aljazeera/AP/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya