Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Spiritualitas Negeri Sakura

Thomas Harming Suwarta
31/5/2016 01:50
Spiritualitas Negeri Sakura
(ANTARA/ROSA PANGGABEAN)

DI sela-sela pertemuan negara-negara industri maju (G-7) di Nagoya, Jepang, akhir pekan lalu, para pemimpin dunia yang hadir diajak berkunjung ke Kuil Agung Ise, sebuah tempat yang paling dianggap suci dalam agama Shinto (agama asli orang Jepang). Tiap tahunnya, jutaan warga mengunjungi kuil itu. Menurut Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, kuil itu tempat terbaik yang bisa menceritakan banyak hal tentang Jepang. "Saya memilih tempat para pemimpin dunia bisa memiliki rasa yang mendalam dengan nuansa alam Jepang yang indah dan budaya serta tradisinya yang sangat kaya," ujarnya. Namun, langkah Abe itu bukan tanpa kritik. Dengan mengajak wisata para pemimpin dunia ke sana, dia dinilai telah memanfaatkan kuil yang merupakan tempat suci untuk mengegolkan agenda-agenda politiknya. Bagi Abe, kunjungan itu bukan hanya kunjungan wisata biasa untuk sekadar menikmati indahnya warisan-warisan dari masa lalu sambil mencicipi udara segar di tengah hutan-hutan dan sungai, melainkan memberi pesan kuat tentang kebangkitan Jepang di bawah kepemimpinannya.

Untuk diketahui, Abe dan sebagian besar anggota kabinetnya ialah penganut Shinto Seiji Renmei (Asosiasi Kepemimpinan Spiritual Shinto); sebuah kelompok lobi berpengaruh di perpolitikan Jepang. "Karena itu, tidak mengherankan jika pilihan berkunjung ke tempat ke Kuil Ise ini sangat erat kaitannya dengan koneksi ideologi PM Abe dengan keyakinan Shinto dan agenda politik revisionisnya," kata John Breen, profesor sejarah Jepang di Pusat Penelitian Internasional untuk Studi Jepang di Kyoto. "Ini sangat cocok dengan keterlibatan aktifnya dengan Shinto Seiji Renmei dan tujuannya membawa (penganut) Shinto ke jantung pemerintah," kata Breen menambahkan. Dari data bisa disebutkan, misalnya pada 1984, hanya ada 44 anggota parlemen dari asosiasi Shinto.

Namun, pada 2014 jumlah mereka telah berkembang pesat menjadi 268, atau 37% dari seluruh anggota parlemen. Kabinet Abe sendiri diisi 14 anggota asosiasi Shinto pada 2012 dan bertambah menjadi 16 dari 19 pos kementerian pada 2016 ini. "Shinto bukanlah agama yang universal dan itu inheren dengan spirit nasionalisme Jepang," kata Koichi Nakano, profesor politik di Universitas Sophia di Tokyo. "Saya mulai merasa agak tidak nyaman ketika Barack Obama dibawa ke Kuil Meiji terakhir kali ia mengunjungi Jepang dan kali ini kita melihat para pemimpin G-7 dibawa ke Kuil Ise yang digunakan untuk melegitimasi Shinto." Banyak tujuan asosiasi Shinto ini tumpang-tindih dengan orang-orang dari kelompok lain yang semakin berpengaruh, seperti Nippon Kaigi (Jepang Conference), yang 38 ribu anggotanya percaya bahwa Jepang membebaskan Asia dari kekuasaan kolonial Barat. Mereka juga percaya bahwa pascaperang konstitusi telah mengebiri 'karakteristik asli' negara. Nippon Kaigi percaya bahwa sistem pendidikan pascaperang, Jepang mempromosikan pandangan 'masokhis' dalam sejarahnya dengan mengabaikan kekejaman pada masa perang Jepang. Di sisi yang lain, Abe dan sekutu-sekutunya berupaya membangun hubungan militer lebih dekat dengan Washington.

Agama dan tradisi
Dalam kebudayaan dan agama Jepang, kuil masih memiliki daya tarik yang cukup kuat. Salah seorang warga, Yasunori Ueda yang mengunjungi Kuil Agung Ise setiap musim panas, mengaku selalu datang untuk berdoa bagi keluarganya untuk memohon kesehatan, berharap pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik, tetapi hal tersebut tidak membuat dia jadi 'orang beragama' seperti diyakini banyak orang di dunia. "Mengunjungi kuil untuk berdoa bagi saya berbeda dari menjadi beragama," katanya. "Ini tidak ada hubungannya dengan agama. Sebagian besar orang Jepang, termasuk saya, tidak berpikir tentang apakah kami beragama atau tidak." Namun, pernyataan Yasunori itu bukan berarti mereka tidak memiliki spiritualitas dalam hidup. Terbukti banyak sekali ditemukan kuil kecil di pinggir-pinggir jalan, bahkan di kota yang sibuk seperti Tokyo.

Hal itu menunjukkan adanya spiritualitas naluriah dalam diri orang-orang Jepang. Sebuah survei yang diterbitkan awal tahun ini oleh Gallup International dan Jaringan Independen untuk Riset Pasar menemukan Jepang termasuk negara yang paling sedikit orang-orang 'beragama'. Enam puluh dua persen responden mengidentifikasi diri mereka sebagai ateis. Di Asia, jumlah itu merupakan yang terbesar setelah Tiongkok dan Hong Kong. Namun, meski rakyat di Jepang mengaku tidak beragama, spiritualitas dan ritual telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Menurut penuturan Ryosuke Okamoto, sosiolog agama di Universitas Hokkaido, saat ini peran agama dalam kehidupan sehari-hari di Jepang terus berkurang. Warga, kata dia, tampaknya lebih nyaman mencari semacam pengalaman spiritual dengan mengunjungi tempat-tempat suci, baik Buddha dan Shinto.

"Saat mengunjungi kuil bagi mereka ialah saat-saat terbaik untuk menenangkan diri, serta mengembalikan lagi kekuatan dan stabilitas diri yang sulit didapatkan dalam kesibukan sehari-hari," jelasnya. Tidak mengherankan jika tingkat kunjungan ke kuil terus meningkat. Bahkan, kuil telah menjadi destinasi wisata yang banyak mendatangkan pemasukan. Beberapa yang terkenal misalnya Kuil Ise, Kuil Meiji, dan Kuil Senso-Ji di Tokyo. Tidak kurang 30 juta orang setahun mengunjungi kuil-kuil itu. Kuil Agung Ise, misalnya, dikunjungi 14 juta orang pada 2013. Pertanyaannya kemudian, kunjungan ke kuil itu menjadi sekadar jalan-jalan atau sesuatu yang lebih? Keseimbangan antara ketaatan beragama dan jalan-jalan untuk berwisata sudah menjadi tidak jelas.

"Batas antara agama dan pariwisata kabur," kata Hiroshi Yamanaka, profesor studi agama di Universitas Tsukuba. "Orang-orang biasa tidak berpikir perilaku yang religius. Untuk mereka, itu hanya adat." Banyak orang Jepang mengatakan tidak peduli apakah mereka lahir Shinto lalu menikah secara Kristen dan mati menurut agama Buddha. "Jepang tidak mengabdikan diri untuk dewa tertentu atau doktrin agama, tapi mereka memilih bagian dari agama yang didirikan dan diri mereka sendiri," kata Dr Yamanaka. "Di Barat, agama berkaitan erat dengan iman, sementara dalam agama di Jepang sangat berbeda." Tomoyasu Shimakawa, wakil direktur di Badan Pariwisata Jepang, mengaku banyak menarik wisatawan untuk berkunjung ke kuil-kuil. "Banyak anak muda yang kecewa dengan situasi hidup mereka sendiri dan kondisi masyarakat. Lalu mereka mencari penyembuhan spiritual dengan mengunjungi kuil." "Ini tempat yang khusus bagi saya. Setiap kali saya datang ke sini saya bisa menenangkan pikiran saya. Saya selalu ingin kembali," kata Saori Fujimoto, seorang pengunjung Kuil Agung Ise asal Osaka. (AP/AFP/Theguardian/Csmonitor/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya