Headline
RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PERAHU kayu yang penuh sesak dijejali sekitar 60 warga Rohingya terbalik saat mendekati Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Setidaknya 21 orang, termasuk sembilan anak, tewas dalam insiden pada 19 April lalu itu.
Puluhan orang Rohingya tersebut terpaksa melakukan perjalanan berisiko melalui jalur laut dari Kota Praja Pauktaw ke pasar Sittwe yang menyediakan kebutuhan dasar sehari-hari yang lebih lengkap.
Pemerintah melarang etnik yang mayoritas muslim itu melakukan perjalanan lewat darat.
Mereka bukan tak sadar akan bahaya yang mengancam.
Ibarat memakan buah simalakama, etnik yang tak diakui negara Myanmar itu terpaksa harus menembus ombak besar dan jika tak berangkat ke Sittwe, berarti juga mereka akan mati karena kelaparan.
Chris Lewa, pendiri dan koordinator Arakan Project yang berbasis di Thailand, mengatakan kejadian tersebut tidak akan terjadi jika orang-orang etnik Rohingya memiliki kebebasan bergerak dan bisa menjangkau berbagai layanan dan pasar di mana saja.
"Kecelakaan tersebut tidak akan terjadi jika mereka diizinkan menggunakan dermaga di pusat Kota Sittwe di muara Sungai Kaladan, bukannya mendarat di sepanjang pantai Teluk Benggala yang kondisinya kasar dan ganas," ungkap Lewa kepada Media Indonesia, Kamis (28/4).
Situasi HAM kompleks
Lewa mengungkapkan situasi di Negara Bagian Rakhine sangat kompleks.
Kelompok garis keras Buddha mayoritas melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas Rohingya, yang hingga saat ini tidak mengantongi dokumen identitas karena tidak diakui pemerintah Myanmar.
Sentimen antimuslim, lanjut Lewa, selalu berada di bawah permukaan di Myanmar dan prasangka terhadap Islam ditemukan di mana-mana dan di semua tingkatan dalam masyarakat, termasuk di dalam anggota dan elite NLD.
Ma Ba Tha, kelompok ultranasionalis Buddha, menggunakan nasionalisme ekstrem berdasarkan agama (perlindungan Buddhisme) untuk membangkitkan sentimen publik terhadap muslim, dan bahkan terhadap kelompok etnik lain juga.
Orang-orang Rohingya di Rakhine semakin tak berdaya menghadapi kekerasan dan tekanan dari kelompok mayoritas karena di sisi lain pemerintah tidak berbuat banyak untuk melakukan pencegahan.
Tak dimungkiri pula bahwa pemerintah negara bagian turut mendiskriminasi mereka.
Ketika dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Fortify Rights Matthew Smith tak menampik pihak berwenang di Rakhine terus melakukan pelanggaran meluas dan sistematis terhadap Rohingya, termasuk pembatasan kebebasan bergerak, perkawinan, kelahiran, dan kegiatan sehari-hari lainnya.
"Pihak berwenang melakukan pembunuhan, kerja paksa, pemerkosaan, penyiksaan, dan pelanggaran lainnya terhadap Rohingya dengan impunitas sempurna," ungkap pemimpin lembaga hak asasi yang berbasis di Asia Tenggara dan terdaftar di Swiss dan Amerika Serikat itu.
Di bidang kesehatan, Lewa menambahkan, banyak orang Rohingya takut mengakses layanan kesehatan di Rumah Sakit Sittwe karena khawatir dinomorduakan.
Pihak rumah sakit tidak mau menerima transfer jika kondisi mereka belum benar-benar parah.
Akibatnya, kerap terjadi kasus kematian akibat pengabaian penindakan segera.
"Diskriminasi, penganiayaan terus-menerus, dan pengurungan penduduk Rohingya di Rakhine benar-benar tidak dapat diterima, apalagi sekarang Myanmar akhirnya memiliki pemerintahan sipil setelah lima dekade pemerintahan militer," tegas Lewa.
"Di wilayah seperti Kota Myebon, ada sebuah rumah sakit di dekat kamp pengungsi, tapi Rakhine lokal menolak akses untuk Rohingya. Akibatnya, LSM itu harus mendapatkan izin dari pihak berwenang untuk mentransfer pasien sakit parah dengan perahu ke Rumah Sakit Sittwe. Waktu yang terbuang dalam memperoleh izin dan transportasi telah menyebabkan pasien darurat meninggal dalam jalan," paparnya.
Terobosan NLD
Matthew Smith berharap pemerintahan baru Myanmar akan mengambil tindakan-tindakan efektif untuk mengakhiri perlakuan kejam warga negeri itu terhadap orang-orang Rohingya.
"Pemerintah Partai NLD memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang gagal dilakukan rezim militer sebelumnya, yakni menciptakan stabilitas dan menghormati hak asasi manusia di Negara Bagian Rakhine," tegasnya.
"Kekerasan yang terus berlanjut hanya akan mengundang sorotan. Jadi, akan bijaksana jika pemerintah bertindak cepat untuk memperbaiki situasi," tambahnya.
Lewa pun mengatakan masih terlalu dini untuk menilai kemajuan kinerja yang diharapkan dari pemerintah yang dipimpin NLD. Meskipun sipil berkuasa, peran militer tetap menonjol.
Militer memiliki jatah 25% kursi di parlemen dan memegang tiga posisi kunci di eksekutif, yakni kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan, sehingga menjadi tantangan besar bagi NLD.
Tantangan signifikan lainnya ialah mengatasi sentimen anti-Islam di seluruh negeri.
Lewa khawatir dengan sikap pemimpin NLD, Aung San Suu Kyi, yang terus membisu terkait dengan krisis Rohingya.
Bahkan tak lama setelah pemilu, partainya sudah mengisyaratkan bahwa menyelesaikan masalah tersebut tidak akan menjadi prioritas.
"Itu bukan pertanda baik dan saya takut NLD mungkin mencoba untuk mempertahankan status quo, yang tidak dapat diterima. Selain itu, NLD dalam konflik dengan pihak Rakhine (Partai Nasional Arakan/ANP) dan angkatan bersenjata menikmati banyak kendali di Rakhine," tandasnya.
Menurut Lewa, posisi NLD mungkin lemah di Negara Bagian Rakhine di samping fakta bahwa tampaknya ada sedikit kemauan politik untuk mengatasi situasi Rohingya.
"Saya ragu akan ada terobosan dan saya menduga militer akan terus menjadi pemain kunci untuk mengontrol negara. Pertanyaan besar mungkin sampai sejauh mana militer akan menggerogoti NLD," pungkas Lewa. (I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved