DI kaki Gunung Songak, di tengah-tengah Semenanjung Korea, terhamparlah Manwoldae, yakni kompleks istana yang dibangun Dinasti Goryeo, salah satu dinasti abad pertengahan Korea. Meskipun Dinasti Goryeo (935-1392) berkuasa selama hampir 400 tahun, gaung mereka kurang populer karena tidak banyak catatan sejarah yang mereka tinggalkan. Kebanyakan arsip sejarah tentang mereka pun ditulis pada masa kekuasaan Dinasti Joseon yang berkuasa setelah Goryeo.
Alasan lain gaung Dinasti Goryeo kurang dikenal ialah lokasi Manwoldae berada di Korea Utara yang hampir tertutup sepenuhnya bagi peneliti asing.
Lalu pada 2005, upaya kolaborasi antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang boleh dibilang unik karena hubungan kedua negara yang selalu renggang, dimulai. Meski kedua Korea terbelah akibat urusan politik, tim peneliti Korut dan Korsel sepakat bekerja sama demi menyingkap sejarah Dinasti Goryeo yang merupakan pemersatu Korea kuno.
Pada tahun itu, tim peneliti dari kedua Korea melakukan konferensi bersama di Kaesong, Korut. Kota itu bisa dicapai dengan perjalanan dengan mobil selama 45 menit saja dari Seoul, ibu kota Korsel. Pada konferensi yang diselenggarakan organisasi Konferensi Sejarawan Antar-Korea dan Dewan Rekonsiliasi Rakyat Korut itu, tim peneliti Korsel mengajukan usul agar kedua negara bekerja sama dalam proyek ekskavasi gabungan di Distrik Bersejarah Kaesong. Distrik itu merupakan wilayah luas yang mencakup situs-situs bersejarah di kota, termasuk Manwoldae, kompleks makam kaisar-kaisar Goryeo, dan Sungkyunkwan, bangunan yang dulunya digunakan sebagai institut pendidikan ajaran Konfusianisme atau Konghucu.
"Awalnya tim dari Korut memandang usul itu absurd. Ini bisa dipahami karena proyek itu, kala itu, diperkirakan butuh waktu setidaknya dua bulan. Padahal, warga Korsel tidak diperbolehkan menetap di Pyongyang melebihi dua pekan. Pyongyang itu sendiri sudah merupakan kota yang paling terbuka bagi pengunjung asing di Korut," jelas Seo Joong-seok, profesor sejarah Korea di Universitas Sungkyunkwan, Seoul.
Pada Januari 2006, kedua Korea akhirnya menyepakati perjanjian kerja sama untuk melakukan penggalian bersama di satu situs bersejarah di distrik itu. Karena Manwoldae saat itu tengah diperjuangkan Korut untuk masuk daftar Warisan Dunia UNESCO, yang akhirnya diresmikan pada 2013, Manwoldae-lah yang ditetapkan sebagai objek ekskavasi.
Melestarikan Dinasti Goryeo bermula dari Kerajaan Goguryeo yang dikenal cakap dalam militer dan berjiwa berani. Teritorium Kerajaan Goguryeo mencakup wilayah Korut sekarang, Manchuria selatan, hingga Rusia tenggara. Kalangan sejarawan baik di Korut maupun Korsel pada dasarnya sepakat bahwa Dinasti Goryeo berupaya melestarikan semangat Kerajaan Goguryeo dan melanjutkan kekuasaannya.
Menurut peneliti, nama 'Goryeo' sengaja dipilih pendiri dinasti itu yang bernama Taejo (877-943) karena mirip dengan nama 'Goguryeo'. Dinasti Goryeo bahkan mempertahankan ibu kota Goguryeo, yakni Seogyeong (sekarang Pyongyang), sebagai ibu kota kedua.
Kelompok ilmuwan Korsel pun memandang proyek ekskavasi gabungan itu sebagai peluang untuk mempromosikan pertukaran budaya sekaligus membangun relasi yang lebih baik bagi dua Korea. Seperti Korut, Korsel pun hendak melestarikan sejarah bangsanya. Manwoldae sama pentingnya bagi sejarah kedua negara.
Situs Manwoldae pertama kali disingkap peneliti Korut pada 1954, tapi tidak banyak upaya lanjutannya. Antara 2007 dan 2010, tim penggalian mulai mendapatkan gambaran struktur dan tatanan Manwoldae. Pada 2010, lebih dari 40 bangunan dapat diidentifikasi dan dikelompokkan dalam zona-zona berbeda berdasarkan fungsi bangunan.
Ada Zona A yang meliputi tujuh bangunan besar dan diperkirakan sebagai kompleks tempat tinggal kaisar, Zona B yang dipenuhi sejumlah struktur kecil yang diperkirakan sebagai tempat mengadakan ritual, dan Zona C, tempat para ilmuwan menyingkap gyeongnyeonjeon, yakni bangunan pejabat istana tempat penyimpanan portret-portret kaisar sekaligus tempat ritual kaisar.
"Situs ini berada di wilayah berbukit dan bangunan bisa runtuh akibat hujan lebat. Namun, Dinasti Goryeo rupanya memiliki solusi lewat teknik-teknik arsitektural alami seperti kanal-kanal drainase," jelas Kim Dong-uk, profesor sejarah arsitektur di Universitas Kyonggi.
Dia juga menyebut sumbu utama kompleks Manwoldae bukanlah vertikal ataupun simetris. "Drainase jalan-jalan dan kanal-kanal dirancang berhubungan, tapi dengan pola organik. Itu yang saya sebut arsitektur yang beradaptasi dengan alam atau arsitektur yang menghargai lingkungan," tambah Kim.
Hingga setidaknya empat tahun silam, baru sekitar seperlima bagian dari Manwoldae yang diekskavasi dengan ribuan temuan artefak. Tim peneliti memperkirakan situs itu baru bisa digali dan diteliti sepenuhnya dalam waktu sekurangnya 30 tahun. (Archive Archaeology/Wey/I-2)