Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
JIKA Anda sedang mencari tempat yang terjangkau untuk hidup, Singapura bukanlah kota yang tepat dalam radar Anda.
Survei terbaru yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU) masih menobatkan negeri di seberang Pulau Batam itu sebagai kota paling mahal di dunia.
Dengan begitu, Singapura menyandang gelar itu untuk tiga tahun berturut-turut, mengalahkan Kota Zurich, Hong Kong, Jenewa, Paris, London, dan New York.
Hasil survei EUI yang dilansir The Wall Street Journal menunjukkan Singapura mendapat skor tertinggi, 116, sedangkan Zurich dan Hong Kong meraih nilai 114 di posisi kedua.
Seoul, Korea Selatan, masuk jajaran 10 besar kota paling mahal, yakni posisi ke-9. Korsel menjadi trinitas Asia bersama Singapura dan Hong Kong.
Laporan tahunan yang menyurvei biaya barang-barang di 133 kota berdasarkan survei dua kali setahun itu mencatat biaya transportasi dan utilitas yang melangit di Singapura.
Sebagai pembanding, biaya transportasi di Singapura ialah 2,7 kali lebih tinggi daripada di New York, AS.
"Ini tempat yang paling mahal di dunia untuk membeli dan mengendarai mobil berkat sistem certificate of entitlement Singapura yang kompleks," ungkap EIU dalam laporan survei yang dirilis Kamis (10/3).
Singapura masih memantapkan diri sebagai kota berbiaya hidup paling mahal.
Bila dibandingkan dengan di New York, yang digunakan sebagai kota basis penelitian, biaya hidup di Singapura telah turun sebesar 10% dari tahun lalu.
Musababnya, kata EIU, Singapura masih konsisten mahal pada sejumlah kategori walaupun lebih murah bila dibandingkan dengan London, New York, Paris, atau Seoul di kategori biaya hidup lainnya.
Paris ialah satu-satunya kota zona euro tahun ini yang masuk jajaran 10 besar dan termasuk kota paling mahal kelima di dunia.
Di samping itu, kian menguatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang dunia lainnya juga telah mendorong New York dan Los Angeles ke peringkat tahunan 10 kota termahal di dunia, yakni di posisi ketujuh dan kedelapan.
Bahkan, New York mengalami perubahan dramatis dalam hal biaya hidup yang semakin melangit dalam lima tahun terakhir, naik 42 peringkat sejak 2011.
"Semakin menguatnya dolar AS dan melemahnya euro telah mendorong peringkat kota zona euro melorot, khususnya karena sentimen konsumen yang melemah dan harga komoditas tertekan yang telah menggerogoti inflasi baik dari segi pasokan maupun permintaan," ungkap EIU dalam laporannya.
Paling murah
Jika Singapura kian mengukuhkan diri menjadi kota paling mahal, Lusaka, ibu kota Zambia, menjadi kota dengan biaya hidup paling murah di planet ini.
Biaya hidup di negara selatan Afrika itu dua per tiga lebih murah bila dibandingkan dengan Singapura.
Meskipun inflasi merajalela, devaluasi kwacha (mata uang Zambia) yang disebabkan turunnya harga tembaga telah mendorong biaya hidup di kota itu menjadi hanya 41% dari New York.
Kota dengan biaya hidup paling murah setelah Lusaka ialah Bangalore dan Mumbai di India.
Negara tetangga India, Pakistan, juga menyumbang satu kota dalam jajaran 10 besar kota termurah di dunia, yaitu Karachi.
Di kategori ini, Asia memiliki enam kota, yakni plus New Delhi dan Chennai, India, dan Damaskus, ibu kota Suriah.
Ke-10 kota itu ialah Lusaka, Banglore, Mumbai, Karachi, Chennai, Aljir di Aljazair, Almaty (Kazakhstan), New Delhi, Caracas (Venezuela), dan Damaskus (Suriah).
Perubahan signifikan
Para peneliti menyatakan ada pergerakan yang cukup signifikan tahun ini.
Hal itu disebabkan kota-kota tersebut menghadapi beragam faktor ekonomi, seperti penguatan kurs dolar AS, devaluasi mata uang, dan jatuhnya harga minyak dan komoditas dunia, serta ketidakpastian geopolitik.
"Hampir 17 tahun kami melakukan survei ini dan saya tidak bisa menyebutkan tahun yang lebih bergejolak dibandingkan 2015," kata Jon Copestake, editor survei EIU, kepada BBC.
"Jatuhnya harga komoditas telah memberi tekanan di beberapa negara. Namun, di negara-negara lainnya, pelemahan kurs karena faktor tersebut telah menyebabkan inflasi yang meningkat," katanya.
Survei bertajuk Worldwide Cost of Living itu dirilis dua kali setahun oleh EIU.
Mereka membandingkan lebih dari 400 harga individu pada 160 produk dan layanan di 133 kota, termasuk makanan, minuman, pakaian, perlengkapan rumah tangga, barang-barang pemeliharaan pribadi, sewa rumah, transportasi, tagihan listrik, sekolah swasta, bantuan domestik, dan biaya rekreasi.
Secara total, lebih dari 50 ribu harga individu dikumpulkan di setiap survei yang dilakukan EUI, sebuah bisnis independen yang masuk dalam The Economist Group.
"Indeks biaya hidup menggunakan kumpulan ukuran yang berstandar internasional dan tidak diarahkan pada pola belanja dari setiap negara tertentu," ujar EIU.
Survei ini dirancang membantu pemangku sumber daya manusia dan para manajer keuangan demi menghitung tunjangan biaya hidup dan menyulap paket kompensasi untuk ekspatriat dan pelancong bisnis.
(WSJ/BBC/The Economist/CNN/Hym/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved