Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Perang Dagang tidak Membuat AS Hebat

Tesa Oktiana Surbakti
02/6/2019 23:20
Perang Dagang tidak Membuat AS Hebat
Industri Garmen di Tiongkok(AFP)

MENINGKATNYA tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, tidak akan membuat 'Negeri Paman Sam' semakin hebat. Pemerintah Tiongkok memandang perselisihan akan mengguncang ekonomi AS.

Pada Minggu (2/6), Tiongkok menekankan pihaknya ingin penyelesaian melalui negosiasi, tanpa mengompromikan beberapa prinsip utama. Selebaran Tiongkok merupakan langkah terbaru dalam konflik menyakitkan antara dua ekonomi raksasa dunia. Perang dagang memicu kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Dengan negosiasi perdagangan yang terhambat, ketegangan bilateral meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Belum lama ini, Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif baru atas komoditas impor dari Tiongkok. Washington juga memasukkan raksasa telekomunikasi Tiongkok, Huawei, ke daftar hitam dengan alasan mengancam keamanan nasional.

"Berbagai langkah tarif (AS) belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi AS. Sebaliknya, terjadi gangguan serius dalam ekonomi mereka," bunyi pernyataan pemerintah Tiongkok dalam buku putih atau laporan resmi. Dalam hal ini, menyoroti peningkatan biaya produksi dan kenaikan harga yang membebani konsumen AS.

Rilis buku putih muncul sehari setelah Tiongkok melemparkan tarif balasan terhadap AS, yang menyasar komoditas senilai US$60 miliar. Sebelumnya, AS menaikkan tarif menjadi 25% pada komoditas Tiongkok senilai US$ 200 miliar.

 

AS harus bertanggung jawab

Di lain sisi, Tiongkok menekankan AS harus bertanggung jawab penuh atas dampak perang dagang. Tiongkok menuduh AS berulang kali mengubah tuntutannya, serta menggulirkan tudingan tidak berdasar selama negosiasi. Kedua negara melempar serangan tarif dalam perdagangan dua arah senilai ratusan miliaran dolar. Ketika pembicaraan bilateral terhambat, tampaknya sengketa meluas di luar tarif.

Pada Jumat lalu, Beijing menyatakan akan mengungkap daftar entitas yang tidak dapat diandalkan, sebagai respons terhadap masuknya Huawei dalam daftar hitam AS. Media pemerintah Tiongkok juga menyebarkan ancaman penyetopan ekspor logam tanah jarang ke AS, yang digunakan dalam sejumlah produksi manufaktur, mulai telepon pintar hingga perangkat keras militer.

Setidaknya, harapan muncul jelang pertemuan Trump dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 bulan ini. Pertemuan diharapkan dapat meredam ketegangan sehingga negosiasi perdagangan berlanjut. Akan tetapi, Wakil Menteri Perdagangan Tiongkok, Wang Shouwen, menyebut pihaknya belum memiliki informasi terkait dengan rencana pertemuan kedua pemimpin negara tersebut.

Sementara itu, memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta kenaikan harga bahan bakar, akan menggerus keuntungan maskapai penerbangan sepanjang 2019. Hal itu ditekankan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA).

Peringatan tersebut mengemuka dalam pertemuan tahunan maskapai global di Seoul, Korea Selatan. Pertemuan IATA tahun ini mencakup 290 maskapai penerbangan yang mewakili 82% lalu lintas udara global. Proyeksi laba bersih kolektif periode 2019 sebesar US$28 miliar, yang mana turun dari perkiraan awal US$35,5 miliar.

"Melemahnya perdagangan global kemungkinan akan berlanjut ketika perang dagang AS-Tiongkok meningkat," jelas Kepala Eksekutif IATA, Alexandre de Juniac. (AFP/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya