Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
RIBUAN pengunjuk rasa dari sisi oposisi, yang dipimpin presiden interim Venezuela, Gua Guaido, mendesak militer segera meninggalkan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro. Mereka juga menuntut bantuan kemanusiaan diizinkan masuk ke negara yang tengah dilanda krisis.
Lautan manusia memenuhi ruas jalan di Ibu Kota Venezuela, Caracas, serta berbagai kota lainnya. Pengunjuk rasa meniupkan pluit dan membawa spanduk bertuliskan 'Angkatan bersenjata, kembalikan martabat Anda', 'Guaido, Presiden', dan 'Katakan Tidak Untuk Kedikatoran'.
"Jangan tembak orang yang juga memperjuangkan keluarga Anda," ujar Guaido dalam pesan kepada militer yang dikirim dari Caracas.
Guaido juga menulis tajuk rencana yang diterbitkan New York Times, Rabu (30/1). Tulisannya menekankan dukungan militer merupakan kunci untuk menggulingkan Maduro dari kursi kekuasaannya. Dia mengungkapkan telah melakukan pertemuan rahasia dengan anggota pasukan keamanan.
"Penarikan dukungan militer dari Maduro sangat penting untuk menyokong upaya perubahan dalam pemerintahan. Sebagian besar dari mereka (militer) setuju bahwa upaya pemerintahan saat ini tidak bisa dipertahankan," bunyi tulisan Guaido.
Guaido, presiden Majelis Nasional berusia 35 tahun, bersikeras memaksa Maduro mundur dari kekuasaan. Dengan begitu, dia dapat membentuk pemerintahan transisi dan mengadakan pemilihan presiden yang baru. Dia pun dengan cepat meraup dukungan dari Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Amerika Latin serta Eropa.
"Protes besar-besaran di seluruh Venezuela kompak melawan Maduro. Perjuangan untuk kebebasan sudah dimulai!," ujar Presiden AS Donald Trump melalui akun twitternya, setelah berbicara dengan Guaido.
Baca juga: Maduro Buka Pintu Dialog untuk Oposisi
Pergolakan politik di Venezuela semakin memperburuk krisis ekonomi di negara yang memiliki cadangan minyak terbukti terbesa di dunia. Situasi perekonomian domestik dibayangi hiperinflasi dan kekurangan pasokan kebutuhan dasar. Jutaan rakyat Venezuela jatuh dalam lobang kemiskinan, sementara 2,3 juta warga lainnya bermigrasi demi terlepas dari krisis berkepanjangan.
Protes pada Rabu waktu setempat, bertujuan agar militer Venezuela berpihak pada rakyat. Apalagi demonstrasi pekan lalu diwarnai bentrokan berdarah yang menewaskan 40 orang dan 850 orang dipenjara. Sebelumnya, Maduro mengerahkan pasukan bersenjata untuk melawan tentara bayaran militer di wilayah ibu kota, seraya menyerukan persatuan.
Maduro juga menindak media asing yang bertugas di Venezuela. Dua wartawan asal Perancis dan seorang fotografer asal Kolombia, telah ditahan. Selain itu, dua wartawan asal Chile dideportasi pada Rabu.
"Apakah Anda menginginkan boneka gringos memerintah Venezuela?" tanya Maduro kepada militer, yang merujuk pada Guaido. Pasukan militer lantas merespon dengan tegas, "Tidak!".
Awal pekan ini, AS menjatuhkan sanksi kepada Venezuela dengan menargetkan sektor perminyakan, sebagai upaya mengguncang sumber pendanaan pemerintahan Maduro. Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton, menegaskan dunia usaha AS tidak berkaitan dengan emas, minyak maupun komoditas Venezuela yang dicuri mafia Maduro dari rakyat.
Dalam wawancara dengan harian Jerman Bild, Guaido meminta negara-negara Uni Eropa menjatuhkan sanksi tambahan pada pemerintahan Maduro. Pemberian sanksi diyakini dapat menghancurkan 80% likuiditas rezim Maduro. Namun, kalangan analis memandang warga Venezuela khawatir penjatuhan sanksi akan memperburuk krisis. "Kami sedang berjuang untuk membawa bantuan kemanusiaan secepat mungkin," kata Guaido.
Pada Sabtu mendatang, aksi unjuk rasa dari oposisi akan kembali berlanjut, yang diketahui bersamaan dengan demonstrasi pro rezim Maduro. Melalui kantor berita Rusia, RIA Novosti, Maduro menekankan pihaknya bersedia untuk melakukan negosiasi dengan oposisi, serta menawarkan pemilihan legislatif. Namun, dia tetap menolak usulan pemilihan presiden baru.
"Jika imperialis menginginkan pemilihan baru, biarkan mereka menunggu hingga 2025," tukasnya.
Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Latin serta AS, bergabung dengan oposisi untuk menolak legitimasi pemilu yang dimenangkan Maduro pada Mei 2018. Walaupun di tangan oposisi sejak 2015 lalu, Mahkamah Agung yang didominasi loyalis rezim, membatalkan setiap keputusan yang dikeluarkan. Pemilihan umum disinyalir memberikan peluang bagi Maduro untuk meraih kembali kendali Majelis Nasional. (AFP/OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved