Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Saudi Terus Toleransi Ujaran Kebencian

(AFP/Ire/I-1)
27/9/2017 05:15
Saudi Terus Toleransi Ujaran Kebencian
(Ilustrasi--thinkstock)

PEMERINTAH Arab Saudi dituding terus menoleransi ujaran-ujaran kebencian yang dilontarkan sejumlah ulama dengan memanfaatkan media sosial seperti Twitter. Di saat yang sama, buku-buku teks di kerajaan itu masih memuat bahasa yang mendiskriminasi ibadah agama lain. Tudingan itu dilontarkan badan pengawas hak asasi manusia PBB, Human Rights Watch (HRW), dalam laporan mereka kemarin. HRW mengatakan pejabat-pejabat Saudi tidak berupaya menghentikan ujaran kebencian yang dilakukan ulama-ulama yang berafiliasi dengan pemerintah dan badan-badan pemerintah lainnya.

Lembaga yang berbasis di New York, Amerika Serikat, itu mengatakan para ulama itu menggunakan ‘secara paksa’ media sosial abad ke-21 untuk menciptakan intoleransi. “Sering kali kata-kata mereka naik ke tingkat hasutan untuk kebencian atau diskriminasi,” kata HRW dalam laporan setebal 62 halaman. Salah satu contohnya ialah unduhan di Facebook oleh Al-Sharif Hatem bin Aref al-Awni, mantan anggota dewan syura pemerintah, yang menyanjung pengeboman sebuah masjid Syiah di Qatif pada 2015. Dia kemudian menghapus unduhannya tanpa penjelasan. Lalu pada September 2016, mufti besar Arab Saudi, otoritas keagamaan tertinggi di negara itu, mengatakan pada surat kabar Okaz bahwa orang Iran bukan muslim.

Menurut HRW, sebutan semacam itu berbahaya di negara yang meyakini kemurtadan dapat dihukum mati. Ujaran kebencian dapat berakibat fatal di seluruh wilayah. Kelompok radikal seperti Islamic State (IS) dan Al-Qaeda, kata HRW, akan memanfaatkan ujaran-ujar­an itu sebagai pembenaran untuk menargetkan warga sipil Syiah dan tempat-tempat keagamaan di Suriah, Irak, dan tempat lain. “Pejabat Saudi segera mengecam serangan tersebut, tetapi mereka tidak bertindak untuk membasmi perkataan pemicu kebencian yang mendukung mereka,” ungkap HRW.

Sebaliknya, terkadang, Saudi menghukum mereka yang berusaha menyatukan Sunni dan Syiah. Bahkan mereka telah menutup sebuah komite yang bekerja untuk menyatukan kalender bulan Sunni dan Syiah. AS menganggap Saudi sebagai negara dengan ‘perhatian khusus’ ketika menghadapi penganiayaan agama, tapi berturut-turut pemerintah melepaskan sanksi potensial atas kejadian tersebut. Untuk meredam sikap kebencian terhadap pihak lain, pemerintah Saudi telah membentuk sebuah program bernilai US$2,4 miliar pada 2007. Program itu bertujuan mereformasi kurikulum pendidik, termasuk melatih ribuan guru ke luar negeri untuk membuka pola pikir kaum muda negeri itu. (AFP/Ire/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya