Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Jenderal Militer Terlibat Perdagangan Manusia

Haufan Hasyim Salengke
20/7/2017 02:32
Jenderal Militer Terlibat Perdagangan Manusia
((AP Photo/Mark Baker, File))

PENGADILAN pidana Thailand, Rabu (19/7), menjatuhkan putusan kepada 103 terdakwa dalam kasus perdagangan manusia terbesar di negara tersebut. Hingga sore kemarin, 38 terdakwa telah di-nyatakan bersalah. Sisa terdakwa lainnya masih menunggu proses persidangan yang dilaksanakan hingga larut malam kemarin. Dari 38 terdakwa yang telah dinyatakan bersalah, hanya satu orang yang diputuskan tidak bersalah. Sebagian besar terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perdagangan manusia. Mereka juga terbukti terlibat dalam kejahatan transnasional atau antarnegara yang terorganisasikan, penyekapan hingga tewas, dan pemerkosaan.

Seorang terdakwa ialah petinggi militer 'Negeri Gajah Putih', yakni Letjen Manas Kongpaen yang juga menjabat penasihat senior angkatan darat di Kerajaan Thailand. Selain petinggi militer, para terdakwa juga terdiri dari pejabat polisi, politisi, dan warga negara Myanmar.
Mereka telah bersekongkol melakukan penyelundupan dan perdagangan migran di wilayah perbatasan Thailand dan Malaysia. Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha meminta warga Thailand untuk tidak menyalahkan pelaku kasus perdagangan manusia yang melibatkan petinggi angkatan darat militer Thailand.

"Ada banyak orang di jaringan perdagangan manusia ini," kata Prayuth kepada wartawan, Rabu (19/7), seperti dilaporkan Bangkok Post. "Jangan mengelompokkan semua tentara di negara ini terkait dengan satu orang (anggota militer)," ujarnya. Proses persidangan kasus ini telah dimulai sejak 2015. Pemerintah telah mengambil tindakan keras terhadap kelompok-kelompok perdagangan manusia menyusul penemuan belasan kuburan massal di dekat perbatasan Thailand-Malaysia pada Juni 2015. Lokasi itu diyakini pihak berwenang bagian dari sebuah kamp hutan tempat para pelaku perdagangan orang menyekap migran sebagai sandera hingga keluarga korban perdagangan harus membayar uang tebusan.

Korban etnik Rohingya
Banyak yang tidak pernah berhasil lolos dari kamp itu. Beberapa dari korban yang tewas ialah warga muslim Rohingya dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Pemerintah belum merilis laporan lengkap tentang kuburan dan hasil uji forensik postmortem. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Fortify Rights mengatakan proses pengadilan kasus perdagangan manusia di Thailand sebagai langkah maju yang langka. Sayangnya, proses penyidikan dirusak dengan tuduhan intimidasi terhadap saksi, juru bahasa, dan penyidik polisi. Lembaga Fortify Rights juga mendokumentasikan bagaimana pihak berwenang Thailand yang menahan saksi etnik Rohingya di tempat penampungan tertutup. Penahanan tersebut jelas melanggar hak asasi mereka.

Para saksi Rohingya itu mendapat intimidasi dalam persidangan. "Ini mungkin merupakan akhir dari sebuah persidangan yang penting dan belum pernah terjadi sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Fortify Rights, Amy Smith, dalam keterangan kepada Media Indonesia. "Namun ini ialah jalan berbatu dan bukan 'case-closed' bagi mereka yang selamat dari perdagangan manusia di sini," jelas Amy Smith. Thailand, Smith menegaskan, memiliki jalan panjang untuk memastikan keadilan bagi ribuan orang yang menjadi korban eksploitasi, penyiksaan, dan pembunuhan oleh sindikat perdagangan manusia selama beberapa tahun terakhir. (AFP/Hym/I-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya