Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PEMBERANTASAN kasus jual-beli ilegal dan perburuan satwa liar yang dilindungi hingga saat ini masih sulit dilakukan. Keterbatasan pengetahuan dan kapasitas jaksa dalam merekomendasikan hukuman dianggap menjadi salah satu penyebab.
Akibatnya, hingga saat ini hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut masih selalu sangat minim. "Itu diakibatkan isu satwa liar yang masih dipandang kurang penting dan pemahaman akan konservasi satwa liar yang masih kurang dipahami oleh para jaksa,” ujar Contry Director Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP), Noviar Andayani, dalam acara penandatanganan kesepakatan (MoU) dengan Kejaksaan Agung, di Hotel Ambhara, Jakarta, Senin (6/3).
Noviar mengatakan, Perdagangan satwa liar adalah salah satu ancaman paling serius bagi satwa-satwa kharismatik Indonesia seperti Badak Sumatera, Harimau Sumatera, Gajah Asia dan Trenggiling. Sebagai negara biodiversitas, Indonesia merupakan sumber besar, tujuan, dan tempat transit bagi penyeludupan dan perdagangan satwa liar. Ditaksir, nilai dari perdagangan ilegal ini bisa mencapai US$1 milyar per tahun.
Menurut WCS-IP, statistik penanganan kasus kejahatan terhadap satwa liar terhitung sejak 2003 – 2016 berjumlah 470 kasus dengan rata-rata mendapat vonis hukuman di bawah 2 tahun penjara. Sementara, pemelihara satwa yang dilindungi belum pernah ada yang dipenjara.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Noor Rochmad, di kesempatan yang sama mengatakan, masalah belum maksimalnya kapasitas dan peran jaksa dalam pemberian vonis perdagangan ilegal dan berburuan satwa liar dilindungi, memang diakui masih terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini upaya peningkatan pengetahuan, profesionalitas, dan berbagai jenis capacity building akan dilakukan pada jaksa dengan menggandeng organisasi, pemerhati, dan ahli lingkungan. OL-2
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved