Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
MENANGKAL hoax ataupun kabar bohong harus melibatkan publik. Demikian dikatakan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subianto. Karena itu, pemerintah saat ini tengah merangkul para netizen dalam menangkal hoax yang belakangan ini merebak.
“Kita coba bersama-sama bahkan akan lebih luas lagi di berbagai kota,” terangnya seusai talkshow Konten Informasi Digital dengan tema Jaga jagat maya, jaga budaya Indonesia, di Grand Studio Metro TV, Jakarta, kemarin.
Hadir dalam acara tersebut, antara lain, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong, dan pakar medsos Wicaksono.
Henri mengatakan hoax dise-barkan para pelaku yang mempunyai niat jahat untuk kepentingan ekonomi, bisnis, dan politik. “Memang ada yang beternak, beternak akun, media abal-abal dan hoax. Hoax paling masif tidak hanya di Twitter, tapi juga di Whatsapp. Itu lebih masif dan secara sengaja dibangun pihak-pihak yang punya agenda ekonomi dan politik,” jelasnya.
Ia menyarankan masyarakat harus tahu definisi hoax.Hoax ialah pesan berisi fakta palsu atau dusta. Pesan tersebut berupa berita, foto, atau meme dengan beragam variasi. Bagi masyarakat, kata dia, hoax bisa ditangkal dimulai dari setiap individu. Yakni, dengan tidak menyebar informasi apa pun yang kebenarannya belum jelas.
Soal penegakan hukum, Henri mengatakan pelaku penyebar hoax akan dikenai sanksi sesuai dengan UU ITE. Kabar hoax yang bisa dijerat dengan UU ITE ialah kabar yang memalsukan fakta, menuduh, ataupun fitnah. “Kita akan lakukan penegakan hukum kalau memang melanggar UU dan menimbulkan kerugian di masyarakat,” terangnya.
Tidak hanya akan menindak para pelaku penyebar hoax, Kemenkominfo juga akan menutup situs-situs yang kebenaran informasinya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Rendah literasi
Pakar medsos Wicaksono menyampaikan literasi konsumen media di Indonesia masih sangat rendah. Masyarakat sebagai konsumen masih belum bisa memilah dan memilih mana berita yang benar atau tidak. Hal itu disebabkan selama ini masyarakat tidak pernah mendapat pengetahuan tentang medsos sesungguhnya.
“Kelompok usia di atas 40 tahun kan mereka digital imigran. Mereka enggak pernah dapat pengetahuan, apa dan bagaimana sesungguhnya medsos itu.Yang umur di bawahnya juga begitu, meskipun mereka digital native, mereka tidak pernah mendapat pendidikan, bahkan di sekolah, apa sesungguhnya medsos itu, bagaimana aturannya, bagaimana etikanya, sehingga kenapa literasinya rendah karena tidak pernah ada pendidikan (medsos),” tuturnya.
Menurutnya, kurikulum tentang kesenian ataupun kebu-dayaan di sekolah harus diperkuat. Di samping itu, pemerintah maupun mitra kerjanya juga tetap harus menyosialisasikan pengetahuan mengenai medsos.
Untuk itu, masyarakat juga harus sadar medsos. “Anggap semua yang ada di sana belum tentu benar, sampai kita tahu itu terbukti benar. Kalau ada kesadaran bahwa yang di medsos belum tentu benar sampai terbukti sebaliknya, kita akan selalu bersikap kritis dan skeptis,” tandasnya. (Nur/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved