Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
TELAH berlalu masa yang panjang ketika kekayaan alam tidak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tidak menjadi kekuatan pengubah, keberagamaan tidak mendorong semangat penggugah, dan pemerintahan demokratis belum juga menjadi kekuatan penggubah ke arah kehidupan negara-bangsa yang berkeadaban.
Apabila meletakkan memori pada titik awal kemerdekaan bangsa Indonesia, lalu bergerak ke depan untuk memotret capaian kinerja pembangunan hingga saat ini, segera akan muncul sebait pertanyaan di benak kita, apa sesungguhnya yang salah dalam proses pembangunan di negeri ini? Itu adalah salah satu pertanyaan pembuka Yudi Latif dalam Prakata buku Yang Laju dan Yang Layu; Membumikan Agama dalam Krisis Ruang Publik.
Buku ini adalah kompilasi terseleksi dari beberapa esai dan makalah karya Yudi Latif PhD, yang ditulis pada rentang waktu sekitar dua dekade, dari awal 1990-an hingga 2010-an. Tulisan-tulisan yang disajikan merupakan analisis kritis dan renungan mendalam penulisnya dalam menanggapi dan menjelaskan isu-isu aktual yang tengah berkembang dalam ruang publik keindonesiaan. Buku ini juga merekam jejak pemikiran penulisnya. Bukan hanya dalam ranah keislaman dan kenegaraan, melainkan juga kemanusiaan dan kerakyatan.
Dalam buku terbitan Simbiosa Rekatama Media ini, Yudi mengawali dengan bahasan tentang beberapa tantangan utama yang dihadapi bangsa Indonesia dalam 50 tahun ke depan. Pertama ialah terkait dengan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, seperti mengentaskan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, angka pengangguran yang meningkat, tingkat partisipasi pendidikan masyarakat kalangan bawah, kualitas kesehatan lingkungan yang buruk, serta peningkatan kualitas pendidikan di bidang sains dan teknologi. Kedua, dalam bidang politik yakni dihadapkan dengan persoalan pelik dan sistemik dari korupsi-kolusi-nepotisme yang dipicu kian terpuruknya etika tanggung jawab dan transparansi dalam pelayanan publik. Yang terakhir ialah bidang budaya. Tantangan ini ditandai dengan makin rentannya kohesivitas sosial yang ditandai letupan konflik vertikal dan horizontal yang bisa dipicu sebab-sebab sepele. Sebab-sebab itu lalu ditunggangi ideologisasi politik identitas yang berjubah etnik atau agama.
Aksi premanisme
Akhirnya, kekerasan, radikalisme, dan kriminalitas masih menjadi bagian dari cara sebagian masyarakat untuk menyampaikan pesan. Selain itu, aksi premanisme dengan dukungan kapital masih terjadi baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal.
Jika tidak mampu mengatasi tantangan tersebut, inilah yang menjadi yang laju dan yang layu. "Dalam perkembangan sejarah yang normal, yang mestinya laju adalah tradisi yang baik, adapun yang layu adalah tradisi yang buruk. Namun, dalam perkembangan sejarah yang abnormal, acap kali bangsa Indonesia justru mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik." (hlm XI)
Oleh karena itu, yang dibutuhkan ialah bagaimana menghidupkan kembali nilai-nilai dan praktik-praktik kemasyarakatan serta kenegaraan yang telah layu dalam arus sejarah agar bisa kembali melaju dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Juga bagaimana nilai-nilai dan praktik-praktik destruktif serta kontraproduktif, seperti budaya kekerasan, kriminalitas, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta sikap intoleran ditandingi dengan sikap-sikap berkeadaban, seperti keadilan, keterbukaan, tanggung jawab, partisipasi, transparansi, yang menjadi nilai pendukung bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat dan pemerintahan yang bertanggung jawab.
Bertolak dari tantangan itulah, Yudi menuangkan pemikirannya dalam 270 halaman yang terbagi menjadi tiga bagian dan 15 bab. Bab-bab dalam buku ini ditulis antara lain bertolak dari keinginan untuk menyelami persoalan kenegaraan dan kebangsaan dengan melihat kekuatan dan kelemahan budaya serta sistem politik yang selama ini dianut dan dipraktikkan.
Peran politik umat Islam
Lima bab dalam bagian pertama buku ini membicarakan antara hubungan Islam dan demokrasi. Bagaimana peran politik umat Islam dalam proses demokratisasi di Indonesia adalah isu yang akan tetap hangat dalam beberapa dekade mendatang. Mampukah nilai-nilai Islam dan umat Islam beradaptasi dalam merespons tuntutan-tuntutan riil untuk mengatasi persoalan-persoalan keindonesiaan akan ditelaah di sini.
Bab VI hingga IX membahas isu-isu yang berkaitan dengan kebebasan dalam ruang publik keindonesiaan. Bagaimana budaya kekerasan dan fanatisme telah menghalangi tumbuhnya ruang publik yang demokratis dan berkeadaban. Di sini yang diketengahkan ialah pentingnya partisipasi dan toleransi. Konflik-konflik agama dan radikalisme keagamaan yang menyertai kebangkitan fundamentalisme juga akan dibahas secara panjang lebar di bagian ini.
Kemudian bab X hingga XV mengetengahkan persoalan-persoalan riil yang dihadapi Indonesia pascakolonial, seperti kemerdekaan tanpa terciptanya rasa keadilan dan kesejahteraan, pembaruan politik yang seakan menemui jalan buntu, dan kepemimpinan politik yang tanpa ditopang kapital moral. Dalam konteks struktural dan individual, yang dibutuhkan ialah reformasi administrasi serta etika politik. Dalam konteks budaya yang lebih luas, yang dibutuhkan ialah semacam teologi kebangsaan.
Inti dari buku ini ialah bagaimana umat Islam memosisikan diri di tengah tegangan antara kekuatan masyarakat politik dan kebangkitan masyarakat sipil. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved