Hingga kini kanker masih menjadi penyakit pengancam jiwa. Para ahli terus mengembangkan berbagai obat dan teknik terapi untuk memeÂranginya. Sebuah terapi terkini yang disebut imunoterapi memberi harapan baru bagi para pasien kanker.
"Imunoterapi pada prinsipnya mengatur sistem imun (daya tahan) tubuh untuk melawan kanker, dengan mengÂaktivasi sistem imun pasien," ujar pakar onkologi asal Myanmar, Aung Myo, pada diskusi kesehatan di Jakarta, Rabu (26/8).
Lebih lanjut ia menjelaskan, sistem imun kita bertugas untuk melawan berbagai penyebab penyakit. Namun, pada kasus kanker sering ditemukan sel imun tidak dapat mengenali sel kanker sehingga sel-sel ganas tersebut bebas menyebar dan berkembang terus-menerus.
Hal itu tidak lepas dari 'kepintaran' sel kanker dalam menyembunyikan dirinya. "Ternyata, ada sesuatu yang membuat sel kanker tak dapat dikenali oleh sel imun," kata dokter yang berpraktik di National University Hospital, Singapura, itu.
Karena itulah, dalam imunoterapi, digunakan zat yang dapat menghilangÂkan 'selubung' sel kanker tersebut. Aung Myo lalu menjelaskan prinsip kerjanya.
"Normalnya, ketika ada penyebab kuman penyakit masuk tubuh, Âkuman akan mengeluarkan antigen. Sistem imun yang mengenalinya akan meÂrespons, menangkis, dan menumpasnya."
Namun, pada kasus kanker, sel imun tidak berkutik karena sel kanker memiliki protein yang disebut programmed cell death ligand (PD-L1). Saat berÂhadapan dengan sel imun, PD-L1 akan berikatan dengan reseptor PD1 yang terdapat pada permukaan sel imun.
"Ketika PD-L1 berikatan dengan reseptor PD 1, sel imun menjadi tidak aktif sehingga tidak menyerang sel kanker."
Sejatinya, lanjut Aung, protein PD-L1 dimiliki sel-sel tubuh kita untuk melindungi diri dari serangan sel imun. Dengan demikian, sel tubuh terhindar dari serangan sel imun. Jika tidak demikian, akan terjadi kondisi autoimun, yakni kondisi ketika sel imun menyerang sel-sel tubuh kita sendiri.
"Nah, sel kanker menggunakan PD-L1 yang dimilikinya untuk melindungi diri dari serangan sel imun."
Dalam imunoterapi, lanjut Aung Myo, digunakan obat yang mengandung zat aktif bernama pembrolizumab. Pembrolizumab bersifat anti-PD1. Dengan sifat tersebut, zat itu menghalangi PD-L1 berikatan dengan PD1. Dengan demikian, sel imun bisa mengenali sel kanker dan menghancurkannya. "Pada praktiknya, obat pembrolizumab diberikan pada pasien melalui infus," imbuh Aung Myo.
Melanoma Aung Myo menjelaskan, sejauh ini pembrolizumab yang dikembangkan perusahaan farmasi global MSD itu baru digunakan dalam terapi kanker kulit atau melanoma. Untuk terapi melanoma, pembrolizumab diinfuskan pada pasien dengan takaran 2 mg/kg berat badan setiap tiga minggu sekali selama dua tahun. Lama pemberian obat melalui infus itu sekitar 30 menit.
"Walaupun menimbulkan efek sakit kepala dan lelah luar biasa, untuk pasien melanoma pembrolizumab bisa meningkatkan kualitas hidup pasien hingga 37% lebih tinggi daripada hasil terapi standar untuk melanoma, yaitu dengan obat ipilimumab," terang Aung Myo yang juga menjabat sebagai Medical Affairs Director for Oncology MSD Asia Pasifik itu.
Sayangnya, Saat ini, pembrolizumab belum masuk ke Indonesia. "Bahkan terapi standar melanoma, dengan ipilimumab, di Indonesia juga belum ada."
Padahal, berdasarkan data Globocan (WHO) 2002, jumlah pasien melanoma di Indonesia mencapai 1.025. Jumlah itu menempatkan Indonesia di urutan ketiga negara dengan jumlah pasien melanoma terbanyak di Asia.
"Tingkat mortalitas (kematian) melanoma pada orang Indonesia cukup tinggi. Dari 349 pasien pria, 193 orang meninggal, dan dari 708 pasien Âwanita, 404 meninggal. Ini terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan melanoma."
Melanoma merupakan kanker kulit menyerupai tahi lalat yang bentuknya tidak beraturan. Pinggiran pada tahi lalat itu tidak rata dengan kombinasi warna hitam, cokelat, atau biru.
"Tanda tahi lalat melanoma antara lain diameternya lebih dari 0,6 mm dan akan semakin melebar, dari ukuran kecil menjadi besar dalam waktu yang cukup cepat," jelas Aung.
Ia menambahkan, meski saat ini persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) terhadap pembrolizumab baru sebatas pada terapi melanoma, penelitian mengenai penggunaannya sudah dilakukan pada 10 jenis kanker paling umum di dunia dengan berbagai macam stadium.
"Semoga anti-PD 1 dengan pembrolizumab segera bisa digunakan untuk terapi jenis kanker lainnya. Terdekat, kami sedang menunggu persetujuan FDA untuk penggunaannya pada kanÂker paru," tutur Aung Myo. (H-3)